Teori-teori Sosial

November 2, 2009 at 6:48 pm (Uncategorized)

Hans Kung dan Pondasi Etika Bersama

Pengantar

Dalam evolusi sejarah umat manusia, ternyata perjalanan sejarah ini tidak selalu berkembang linear. Ide-ide besar datang dan pergi, gagasan yang baru menggantikan yang lama, menegasikan atau mengambil bentuk baru dari suatu sintesis kreatif yang memperkaya. Gagasan-gagasan yang tidak relevan dengan perkembangan zaman atau yang telah berperan menghancurkan zaman itu sendiri pada akhirnya akan menerima kritik, bahkan dicaci, dan lalu ditinggalkan. Hal ini memperlihatkan bahwa semakin maju capaian pemikiran manusia bukan berarti ia akan begitu saja menjamin kesejahteraan dan kedamaian manusia, meski segala upaya pemikiran itu dikerahkan untuk mencapai cita-cita itu.

Misalnya, gagasan-gagasan yang lahir dari kandungan modernitas, yang merupakan antitesis dari abad pertengahan, kini menjadi sasaran kritik era sesudahnya. Kritik ini dikemukakan karena modernitas tidak lagi sanggup menjawab problem zaman yang dinamis. Bahkan modernitas dianggap telah menyumbangkan saham bagi lahirnya tragedi kemanusiaan yang menimpa umat manusia, seperti perang, konflik, kemiskinan, penindasan, pembunuhan, dan seterusnya. Modernitas memang diakui memunculkan optimisme kemajuan manusia melalui penemuan sains dan teknologi, tetapi pada sisi lain ia tidak mampu menjawab problem-problem besar yang dihasilkan dari dampak kemajuan tersebut. Banyaknya bencana kemanusiaan memperlihatkan bahwa modernitas gagal membuat dunia semakin damai, aman, dan sejahtera.

Keprihatinan terhadap tragedi kemanusiaan semacam inilah yang juga dirasakan Hans Kung, yang sebagian pemikirannya akan dibahas dalam makalah ini. Kritiknya terhadap modernitas dengan mempertimbangkan khazanah zaman posmodernitas sekarang ini mendorongnya untuk mencari solusi normatif bagi problem kontemporer yang diwarnai dengan teror, kekerasan, penindasan, dan bencana kemanusiaan lainnya. Tepatnya, Kung mau membangun fondasi etika bersama yang bisa menjamin kehidupan umat manusia di dunia agar lebih adil, damai, aman, dan berprikemanusiaan. Bukan etika yang semata-mata mendasarkan diri pada jenius rasio manusia, melainkan etika yang dibangun di atas nilai-nilai humanis yang terkandung dalam agama-agama.

Dalam refleksi ini, pertama-tama penulis akan memaparkan kondisi modernitas dan kritik Kung atas kegagalan-kegagalan modernitas (1), lalu akan dibahas panggilan Kung akan pentingnya etika bersama untuk mengatasi problem kemanusiaan akibat kegagalan modernitas ini (2), dan selanjutnya akan dipaparkan gagasan inti Kung mengenai keyakinannya akan nilai agama-agama sebagai basis etika global (3). Terakhir penulis akan memberikan beberapa catatan kritis singkat (4).

Kondisi-Kondisi Modernitas

Pengertian modernitas di sini pada dasarnya tidak hanya menunjukkan sebuah periode sejarah setelah abad pertengahan atau sebuah pengalaman kultural tertentu, melainkan juga suatu posisi epistemologis dan filosofis yang memikirkan karakter tertentu mengenai pengetahuan dan kebenaran.

Secara historis kesadaran akan modernitas ini berawal dari masa Renaisance pada abad ke-16 dan memuncak pada Aufklarung pada abad ke-18. Pada masa-masa inilah kesadaran akan kenyataan otonomi manusia di hadapan alam semesta mulai muncul di bawah semboyan terkenal: Sapere Aude! (berpikirlah sendiri!). Secara filosofis, tokoh besar yang merumuskan semangat modernitas adalah Rene Descartes. Ungkapannya yang teramat masyhur Cogito ergo sum telah menandai kesadaran baru ini: pertama, manusia atau “aku” adalah subjek yag menghadapai alam lahiriah yang dibedakan dengan alam batiniah, dan kedua, bahwa pengetahuan manusia mengenai kenyataan adalah produk pemikiran mereka sendiri dan bukan berasal dari tradisi atau wahyu.

Alam modern adalah masa di mana rasionalitas manusia muncul dan menggeser segala otoritas non-rasio. Ini berarti keyakinan selama ini bahwa tradisi atau dogma agama sebagai sumber otoritas yang dianggap mampu menjawab segala pertanyaan tentang semesta dan problem-problem yang dihadapi umat manusia, mulai ditinggalkan. Sebagai gantinya, hanya manusia dengan kemampuan rasionyalah yang mampu memahami kenyataan dengan benar dan mampu menjawab perkembangan zaman. Optimisme terhadap kemampuan rasio ini pada akhirnya melahirkan gagasan modern tentang progress.

Progress, sebagai kesadaran akan waktu yang khas dalam modernitas, dimaksudkan waktu yang dihayati sebagai sebuah garis lurus menuju kemajuan. Dalam kesadaran baru ini perjalanan waktu tidak melangkah secara repetitif dan imitatif melainkan bergerak linear secara pasti. Kesadaran baru ini meyakini bahwa kekinian adalah peningkatan kualitatif atas kelampauan dan berikutnya menjadi modal peningkatan masa mendatang.

Keyakinan akan rasionalitas manusia dan kepastian akan kemajuan ini pada momen berikutnya mengejawantah dalam aktifitas kreatif, penciptaan, dan inovasi sains dan teknologis. Dengan sains dan teknologi ini, umat manusia berusaha merealisasikan cita-citanya untuk menguasai alam, dan menghadirkannya untuk kesejahteraan seluruh umat manusia. Namun demikian berbagai peristiwa faktual menunjukkan realitas yang lain. Sains dan teknologi telah membawa bencana yang mahadahsyat; dua perang dunia, konflik ideologi, kemiskinan dan kelaparan, serta krisis lingkungan yang justeru mewarnai optimisme modernitas ini. Dari sinilah lalu cita-cita modernitas dengan segala pranata intelektual dan sosialnya dipersoalkan. Rasio manusia yang diyakini akan membawa dunia ini menjadi lebih baik (better world) malah memupuskan harapan dan cita-citanya sendiri tentang kedamaian, kebahagiaan, dihormatinya martabat kemanusiaan.

Hans Kung, salah satu di antara sejumlah pemikir pengkritik modernitas, dengan lugas menegaskan bahwa kemajuan sains modern yang sepenuhnya bersandar pada rasio tidak seluruhnya membawa kemajuan umat manusia, begitu juga rasionalitas sains dan teknologi. Rasio pencerahan akhirnya jatuh pada irrasionalitas dan tenggelam dalam jurang kehancuran karena pemikiran saintifik dan teknologi tidak bisa memberikan dasar jawaban bagi problem-problem yang diakibatkannya. Tepatnya, pemikiran modern tidak mampu memberikan kerangka etika global untuk mengantisipasi dampak kemajuan dan perkembangan kehidupan modern sendiri yang semakin terdiferensiasi dan tersekularisasi.

Menuju Etika Bersama Pasca Modernitas

Krisis modernitas yang membawa bencana kemanusiaan ini menarik keprihatinan Kung. Keprihatinan pertama terkait dengan tendensi modernitas yang mengandalkan rasio manusia yang tidak memberikan landasan etis yang memadai untuk tanggung jawab etika global. Kedua, terkait dengan budaya teknokratis yang mendominasi masyarakat modern telah mengabaikan aspek kemanusiaan dalam menggunakan teknologi. Akibatnya, bukan hanya melahirkan teknologi yang justeru mengancam keadilan dan kebebasan manusia, tapi juga merusak lingkungan, bahkan ancaman terhadap eksistensi manusia itu sendiri.

Bagi Kung, untuk menghindari bencana yang barangkali akan semakin membesar ini tidak bisa tidak harus ada suatu pergeseran nilai dalam paradigma kehidupan manusia. Pergerakan dari nilai-nilai modernitas ke “paska modernitas” ini meliputi hal-hal berikut. Pertama, perubahan dari masyarakat yang bebas etik menuju masyarakat yang bertanggung jawab secara etis. Kedua, dari budaya teknokrasi yang mendominasi manusia menuju teknologi yang melayani manusia. Ketiga, dari industri yang merusak lingkungan menuju industri yang ramah lingkungan, dan keempat, dari demokrasi legal menuju demokrasi yang berkeadilan dan berkebebasan.

Namun demikian realisasi pergeseran paradigma ini tentu saja membutuhkan konsensus bersama, suatu moralitas atau norma etik yang mengikat secara universal. Yakni, suatu norma dan nilai minimum yang bersifat transkultural dan transnasional yang bisa menjamin dan mengarahkan umat manusia menuju kehidupan masa depan yang harmonis, damai, taat hukum, dan tanpa kekerasan. Suatu norma yang dilandasi oleh tanggung jawab bersama terhadap kehidupan alam semesta (a planetary responsibility). Norma ini adalah etika publik-global yang bertanggung jawab terhadap orang lain, lingkungan dan masa depan dunia, serta menjadikan manusia sebagai kriteria dan tujuan.

Agama-agama sebagai Basis Etika Global

Pertanyaan pertama untuk membangun sebuah etika bersama adalah: di atas landasan apa etika bersama dan mengikat itu hendak dibangun? Apa kriteria validitas etika bersama itu agar bisa dipertanggungjawabkan secara bersama-sama pula?

Pertama-tama Hans Kung mengaskan bahwa kemajuan sains modern tidak seluruhnya membawa kemajuan umat manusia, begitu sains dan teknologi tidak seluruhnya rasional. Rasio pencerahan toh akhirnya jatuh pada irasionalitas dan tenggelam dalam jurang kehancuran. Karena persis pemikiran saintifik dan teknologis modern tidak bisa memberikan dasar bagi nilai-nilai universal, hak asasi manusia (HAM), dan kriteria etis yang memadai.

Kedua, filsafat juga gagal bahkan tidak mampu memberikan fondasi etika praktis bagi seluruh masyarakat, juga suatu etika yang bersifat universal dan mengikat. Alih-alih, mereka (para filsuf seperti MacIntyre, Rorty, Foucault, dll) kembali kepada budaya dan nilai-nilai lokal sebagai sumber norma-norma etika yang tentu bagi Kung partikularitas itu tidak mencukupi bagi etika bersama. Mengapa demikian? Karena rumusan etika dalam filsafat tidak menyertakan keharusan universal dan yang tanpa syarat. Filsafat hanya mengabdi pada kekuatan rasio sehingga ketundukan pada keharusan etis terasa menyakitkan secara eksistensial. Apalagi juga filsafat mustahil menuntut pengorbanan atas kepentingan hidup mereka.

Dengan bersikap pesimis terhadap peran rasio dan filsafat yang gagal menyediakan fondasi etis, Kung akhirnya melirik peluang agama yang secara potensial bisa menjadi dasar pijakan bagi moralitas universal semacam itu. Memang benar bahwa agama bisa berlaku otoritarian, menjadi tiran, menciptakan intoleransi, ketidakadilan, isolasi dan seterusnya hingga memusuhi sains, teknologi, industri, bahkan demokrasi dan HAM. Namun demikian, Kung menyanggah kalau agama dianggap tidak memiliki masa depan. Bagi Kung, agama adalah fenomena universal manusia. Ia adalah dimensi esensial hidup dan sejarah manusia yang tidak mungkin tergantikan oleh ideologi lain, apakah humanisme ateistik ala Feurbach, sosialisme ateistik ala Marx, sains ateistik ala Freud dan Russel, atau yang lain. Memang benar bahwa agama juga telah menyebabkan destruksi, tapi kenyataanya agama juga membawa pembebasan manusia, ikut menyumbangkan nilai-nilai keadilan, toleransi, solidaritas, demokrasi, HAM, perdamaian dunia, dan seterusnya, bahkan menjadi kekuatan etika nonkekerasan. Bagi Kung, dengan bukti-bukti bahwa agama bisa menjadi fondasi bagi identitas psikologis, kedewasaan manusia, kesadaran diri yang sehat serta kekuatan pendorong perubahan sosial, Kung menolak agama dipandang sebagai proyaksi atau sarana pelipur lara, apalagi ilusi kekanak-kanakan.

Sebaliknya, agama memiliki harapan dan potensi besar untuk membangun kerangka etika universal, yang tidak mungkin lagi diharapkan dari rasio dan pemikiran saintifik dan teknologis. Mengapa?

Pertama, setiap agama memiliki nilai-nilai humanum, dam justeru ia bisa dipertanggungjawabkan karena nilai-nilai humanum ini.

Kedua, agama memberikan basis absolutisitas dan keharusan moral secara tanpa syarat, dimanapun, kapanpun, dan dalam hal apapun. Ini berbeda dengan para penganut eteisme, mereka bisa saja melakukan tindakan bermoral secara otonom dan manusiawi tetapi mereka tidak bisa memberikan alasan mengapa ia menerima absolutisitas dan universalitas kewajiban moral. Kung menegaskan: “An inconditional claim, a ‘categorical’ ought, cannot be derived from the finite conditions of human existence, from human urgencies and needs. And even an independent abstract ‘human nature’ or idea of humanity’ (as a legitimating authority) can hardly put unconditional obligation on anyone for anything”. Sebaliknya, tuntutan etis dan keharusan tanpa syarat itu hanya bisa dan harus didasarkan pada sesuatu yang tak bersyarat dan yang Absolut. Dalam konteks ini, bagi Kung, agama-agama profetis seperti Judaisme, Kristiani dan Islam bisa memberikan basis tuntutan etis yang absolut dan universal. Keyakinan pada the Ultimate Reality atau Tuhan diyakini bisa memberikan motivasi moral dan tingkat paksaan (compulsion), dan menjadi modal dasar agama-agama dalam membangun etika bersama.

Dan alasan ketiga, etika global yang bersifat universal berdasarkan nilai-nilai agama mungkin dicapai karena setiap manusia secara antropologis meyakini akan Yang Absolut.

Namun demikian Kung memberikan sejumlah catatan bahwa agama-agama seharusnya juga bersikap rendah hati menerima perkembangan pemikiran baru karena ia sendiri tidak lepas dari problem di dalam dirinya. Singkatnya, agama tetap tidak bisa mengabaikan nilai-nilai pencerahan seperti humanisme, dan perkembangan sains dan teknologi. Pertama, karena nilai dan norma etis konkret itu juga hadir bersama dalam proses sejarah, maka dimungkinkan solusi dan norma etis itu berubah secara kontekstual. Kedua, agamawan juga harus menggunakan bantuan metode sains untuk memperoleh kepastian analisis secara prejudis terhadap persoalan-persoalan terkait sebelum mengambil keputusan. Ketiga, persoalan yang semakin kompleks menuntut adanya pertanggungjawaban etis berikut solusi konkrit menurut konteks setempat. Selain itu tindakan etis juga mesti dilakukan dengan pertimbangan prioritas dan kepastian, dan ini bisa dicapai dengan memanfaatkan metode analisis sains.

Dengan menjadikan agama-agama sebagai basis etika global ini, Kung benar-benar ingin mencari alternatif landasan bersama etika bersama yang mengikat. Bukan menggantungkan diri pada rasionalitas manusia, melainkan pada pertemuan nilai-nilai humanum dari agama-agama.

Namun gagasan Kung ini memancing sebuah pertanyaan, apakah “kembali ke etika agama-agama” bermaksud menganjurkan ke arah gerakan revivalisme keagamaan, seperti revivalisme Islam, misalnya?

Revivalisme yang selama ini dilontarkan kalangan Islamis pada dasarnya didorong oleh kehendak untuk kembali ke Kitab Suci atau Islam murni atau Islam otentik, dengan cara menafsirkan Al Qur’an secara tekstualistik. Persoalannya adalah “Islam otentik” atau “Islam Murni”? Ajaran-ajaran Islam telah dipahami secara beragam oleh umatnya dengan melahirkan beragam produk tafsiran terhadap teks kitab suci yang kadang-kadang melahirkan perbedaan, bahkan konflik dan perpecahan. Sehingga klaim tentang “Islam otentik” yang tunggal itu menjadi problematis. Otentisitas itu hanya bisa dipahami dalam kerangka subyektifitas penghayatan individual. Karenanya otentisitas selalu berkaitan dengan penghayatan iman orang tersebut dalam situasi konkrit itu yang selalu mengalami mengalami transformasi.

Tentu saja gagasan etika global Kung tidak mengarah pada revivalisme semacam itu, apalagi yang sektarian. Melainkan Kung hendak merumuskan etika global yang bisa menjamin kepastian dan keharusan moral kepada semua orang. Bagi Kung kriteria etika semacam itu hanya mungkin ditemukan dalam agama-agama. Mengapa? Sebagaimana disinggung di atas, unsur dasar agama adalah keyakinan adanya otoritas absolut yang transenden. Dan kepercayaan terhadap realitas transenden merupakan gejala atau fenomena universal manusia. Hanya etika transenden yang berasal dari otoritas absolut itulah yang bisa menjamin kepastian nilai-nilai tertinggi, norma-norma tak bersyarat, motivasi terdalam, serta ideal-ideal tertinggi. Dan dalam setiap agama, tegas Kung, ada nilai-nilai etis bersifat universal yang bisa dipakai sebagai landasan bersama.

Jadi, alih-alih mau menyerukan ke revivalisme agama atau sektarianisme, Kung justeru mengafirmasi potensi agama-agama untuk membangun landasan etis bersama bagi perdamaian global. Agama bukanlah suatu hypostase. Agama tidak tinggal dalam dunia Platonik, tetapi merupakan agama manusia biasa dengan daging dan darah. Suatu agama yang menyejarah yang berjuang bersama perubahan dan kefanaan, dan terlibat dalam menyelesaikan krisis dan keprihatinan umat manusia.

Catatan Kritis

Dari paparan pemikiran Hans Kung di atas, penulis hendak memberikan beberapa pandangan dan tanggapan singkat mengenai posisi Kung tersebut terutama terkait dengan gagasan mengenai agama sebagai fondasi etika global.

1). Hans Kung berupaya mencari landasan etika bersama yang bersifat universal, memiliki kepastian absolut dan mengandung tuntutan yang mengharuskan. Menurut dia, etika yang berasal dari rumusan rasio manusia tidak bisa menjamin nilai etika seperti itu karena manusia terbatas. Manusia yang terbatas dan tindakannya ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhannya mustahil melahirkan noma etis yang bersifat universal dan tidak bersyarat. Karenanya hanya satu penjamin nilai-nilai itu, yakni zat yang tidak terbatas dan tidak bersyarat: Tuhan atau Realitas Ultim.

Pencarian etika universal dari agama-agama semacam itu sangat dimungkinkan. Tapi persoalan yang tetap krusial menurut penulis adalah bagaimana menerjemahkan norma-norma itu dalam situasi konkrit. Orang berbeda cara berpikir atau budayanya atau situasi yang dihadapinya akan sangat berbeda menerjemahkan norma-norma itu secara konkrit. Jadi mustahil adanya penyikapan etis terhadap permasalahan secara seragam dan universal, meski secara normatif landasannya sama.

2). Pertanyaan yang harus dilontarkan kepada Kung adalah apakah etika dunia baru dari agama-agama bisa menjamin kedamaian dan situasi nondestruksi? Jika Kung berdalih bahwa destruksi agama disebabkan oleh kekolotan agamawan atau institusi agama, bukankah dalih yang sama bisa diberikan kepada rasio pencerahan yang membawa destruksi akibat meninggalkan rasio komunikatifnya. Benar bahwa rasio manusia terbatas, tapi apakah etika dari agama-agama yang tak bersyarat itu bisa menjamin tidak ada penyelewengan?

Menurut penulis, Kung tampaknya (jangan-jangan benar), sebagaimana para filsuf dan saintis, dalam melihat masalah-maalah dengan menggeser solusi normative yang satu dan tertentu dan lalu menggantikannya dengan solusi normatif yang lain, tanpa melihat persoalan praktis apa yang terjadi di lapangan. Artinya, meminjam kritik yang dilontarkan oleh kalangan posmodernis, Kung terjebak ke dalam bentuk-bentuk “esensialisme” baru produk modernitas pencerahan. Dengan meletakkan agama sebagai satu-satunya basis landasan etis, Kung sebetulnya telah terjebak oleh keinginan untuk lepas dari sebentuk esensialisme lama ke esensialisme baru. Keterjebakan Kung ini akan membawa konsekuensi-konsekuensi lanjutan.

Pertama, pandangan esensialis ini selalu dibangun dengan menyingkirkan apa yang dianggap non-esensial. Hal ini dibuktikan dengan dominasi rasionalitas sebagai ciri esensial manusia modern telah menyingkirkan aspek-aspek lain yang dianggap tidak esensial, seperti agama, metafisika, kepercayaan mistik, dewa-dewa dan seterusnya. Demikian juga pandangan bahwa agama sebagai satu-satunya basis landasan etis yang bisa dipertanggungjawabkan juga memiliki status esensial yang hampir sama dengan keyakinan absolut pada rasio, dan berpotensi mengabaikan potensi aspek-aspek lain yang bisa mendukung terciptanya etika bersama dari suatu komunitas. Misalnya, norma yang menyatakan “yang lain” sebagai landasan etis tindakan bermoral.

Kedua, akibat lompatan pandangan yang esensialis ini Kung melupakan problem-problem yang sifatnya praktis, sebagaimana disinggung di atas. Maksudnya, bila agama seperti rasio juga memiliki unsur positif dan negatifnya lalu apakah etika global berlandasan agama itu bisa menjamin perdamaian dunia. Bila memang dimungkinkan merumuskan etika universal semacam itu, apakah aplikasi praktisnya juga akan menghasilkan penilaian dan tindakan etis yang unversal terhadap beragam persoalan. Di sini Kung tidak bisa menghindari adanya keragaman tanggapan etis seseorang ketika menghadapi situasi konkrit tertentu yang particular []

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Perihal Ideologi dan Praktek Kebudayaan

Pengantar

Kata ‘ideologi’ memang memiliki konotasi yang sedemikian buruk dalam kehidupan sehari-hari. Ia diasosiasikan dengan penipuan, mistifikasi, pembodohan, dan konflik politik. Namanya pun lekat dengan irasionalitas, emosional, dan fanatisme buta. Ideologi lekat dengan memori kekerasan dan konflik perang antara blok Barat yang dikomandani AS dan blok Timur dibawah kendali US.

Apalagi sejarah perang ideologi telah memakan korban jutaan manusia dalam perang dunia kedua, ditambah jutaan lainnya korban pemerintahan fasisme Nazi Jerman pimpinan Hitler. Usai perang dunia yang dimenangkan blok Barat dan kemenangan paham neoliberalisme dalam ekonomi perdagangan, lalu para pengamat pun buru-buru mengklaim bahwa abad ke-20 ini adalah masa berakhirnya ideologi-ideologi dunia. Suatu masa yang penuh diwarnai dengan kekerasan, intrik, dan konflik politik.

Pandangan pejoratif tentang konsep ideologi ini sebenarnya bisa ditelusuri dari sejarah dipergunakannya istilah ideologi sendiri. Istilah ini adalah derivasi dari ideologues yang muncul paska Revolusi Perancis. Napoleon Bonaparte menggunakan istilah ideologi untuk menyerang lawan-lawan politiknya yang memiliki ide-ide yang tidak realistik berkaitan dengan kepenntingan-kepentingan negara Perancis baru saat itu.

Selanjutnya Marx dan Engels memberikan elaborasi yang sistematis tentang ideologi. Warna pejoratif pun masih begitu melekat dalam pandangan mereka. Istilah ideologi digunakan Marx untuk menyerang dan menyingkap distorsi, ilusi dan inversi yang membentuk idealisme filosofis tradisi Hegelian German.

Dengan mendasarkan diri pada metode materialisme historis, Marx mengkritik para ideolog German ini bahwa pikiran-pikiran mereka teralienasi dari kehidupan. Marx berpendirian, kapitalisme telah melahirkan pemahaman/pengetahuan yang tidak mencerminkan realitas sebenarnya (false knowledge), yaitu realitas pertentangan kelas antara kaum borjuis dan proletar dalam masyarakat industrial-kapitalistik.. Pengetahuan yang tidak mencerminkan realitas atau kesadaran yang teralenasi dari praksis inilah yang disebut dengan ideologi. Ideologi merupakan representasi yang keliru tentang manusia dan dunia karena menganggap situasi yang ada sebagai natural, ahistoris, dan memistifikasi suatu tatanan sosial. Berkaitan dengan masyarakat, ideologi adalah bagian dari superstruktur yang melayani kekuatan substruktur ekonomi. Ideologi melegitimasi relasi sosial dan ekonomi, sekaligus senjata kelas berkuasa.

Pandangan klasik tentang ideologi ini kini menuai kritik tajam. Pandangan klasik dan pejoratif tentang ideologi telah mengaburkan fakta, bahwa ideologi sebenarnya beroperasi dalam ranah kehidupan sehari-hari, bahkan lebih dominan dalam suatu tatanan sosial tertentu. Bahkan ideologi sebagai praktek kebudayaan relatif memiliki otonominya sendiri, dan tidak bisa direduksi begitu saja kekuatan-kekuatan produksi dan kelompok ekonomi. Dalam kebudayaan sehari-hari, dalam seni pertunjukan rakyat, Tayub, ketoprak atau seni ludruk, bahkan dalam ritual istighasah, misalnya, bisa bersifat ideologis, atau dimasuki oleh berbagai kepentingan dan kekuasaan. Ideologi tidak lagi terpusat dan menjadi doktrin politik person kekuasaan, melainkan tersebar dalam ranah keseharian, sebagaimana kekuasaan yang tersebar dalam seluruh tatanan sosial.

Untuk memahami fenomena ini, saya banyak memanfaatkan insight para pemikir dan filsuf (post)strukturalis, khususnya Louis Althusser dan Michel Foucault sekaligus insihgt dari disiplin antropologi dan sejarah yang ikut menyumbang hal yang amat penting dalam perkembangan konsep ideologi dan kebudayaan.

 

Foucault dan Produksi Kekuasaan

Kritik tajam atas pandangan ideologi Marx ini dilakukan oleh Michel Foucault. Menurut Foucault, Marx masih terjerat mimpi dan kerinduan akan sebentuk kebenaran atau pengetahuan yang bebas dari distorsi, tipuan dan ilusi. Ia tergoda untuk mempertentangkan antara false knowledge dan true knowledge. Bahwa gagasan atau pengetahuan yang mencerminkan realitaslah yang benar. Di sini Marx menganggap realitas lebih prior dari gagasan dan kehidupan mental bersifat sekunder dari determinan ekonomi material. Sedangkan baginya ideologi harus dipertentangkan dengan apa yang dianggap sebagai kebenaran.

Menurut Foucault, wacana-wacana, pengetahuan-pengetahuan beserta institusi penopangnya pada dirinya sendiri tidaklah memuat kategori benar atau salah. Karena setiap masyarakat dan setiap zaman memiliki bentuk-bentuk wacananya sendiri yang di dalamnya kebenaran-kebenaran itu dibangun. Kebenaran adalah capaian sistem-sistem pengetahuan yang menguasai tatanan sosial yang berisi teknik-teknik, prosedur-prosedur nilai, tipe-tipe wacana, dan teknologi yang dikembangkan.

Masalah “kebenaran” selalu terkait dengan relasi kekuasaan dalam ranah sosial dan politik. “Kebenaran tidak di luar kekuasaan” . Karena kebenaran berada dalam banyak cara dan praktek-praktek kehidupan manusia dalam mengatur diri mereka dan orang lain. Kebenaran diproduksi dengan pembentukan wilayah-wilayah di mana praktek benar dan salah dapat diciptakan dalam sekali aturan dan terkait. Karenanya, setiap ilmu pengetahuan memiliki rezim kebenarannya sendiri.

Bagaimana kekuasaan dan kebenaran itu berhubungan satu sama lain? Menurut Foucault, kedua ada di dalam praktek-praktek diskursif, tempat di mana ucapan, tindakan, aturan-aturan yang diterapkan, alasan-alasan yang diberikan bertemu dan saling berhubungan, serta benar dan salah ditentukan di dalamnya. Melalui penelitian arkeologinya, Foucault menyelidiki dokumen-dokumen, tempat, serta bermacam-macam ritual pekerja dan publik, tempat di mana genealogi bentuk-bentuk sejarah (“teknologi moral”, “rezim rasionalitas”) itu hadir: Seperti: dalam praktek pengobatan klinis, hukuman penjara sebagai praktek menghukum umumnya; dan bagaimana orang gila dianggap sakit mental. Melalui bukti-bukti sejarah ini, Foucault menunjuk langsung pada praktek-praktek kekuasaan. Tipe praktek-praktek ini tidak hanya diatur oleh institusi, ditentukan oleh ideologi dan dituntun oleh keadaan pragmatis, tapi juga mempengaruhi regularitas mereka, logika, strategi pembuktian diri dan alasan-alasan mereka.

Dengan demikian bisa dikatakan bahwa ideologi sebenarnya berjalin-kelindan dengan praktek-praktek diskursif dalam masyarakat di mana relasi kekuasaan berlangsung dan kebenaran diciptakan.

Althusser dan Aparatus Ideologis

Jika Foucault menunjukkan bahwa kekuasaan tersebar dalam relasi sosial melalui proses diskursif, Althusser memberi sumbangan pada bagaimana ideologi beroperasi dan bagaimana ideologi direproduksi dan dipertahankan.

Pertama-tama dengan menolak Marx, ia menyatakan bahwa tidak mungkin kita bisa menangkap realitas sebenarnya karena kita tergantung pada bahasa. Paling-paling kita hanya bisa merasakan meski bukan ‘kondisi real’, cara-cara di mana kita telah dibentuk dalam ideologi melalui proses-proses pengenalan yang kompleks. Menurut Althusser, ideologi tidak mencerminkan dunia real, melainkan merepresentasikan “hubungan-hubungan imaginer” individu-individu terhadap dunia real. Bagi Althusser ideologi merupakan ciri yang dibutuhkan masyarakat sejauh masyarakat mampu memberikan makna untuk membentuk anggotanya dan merubah kondisi eksistensialnya. Masyarakat manusia menyembunyikan ideologi sebagai elemen dan atmosfir yang sangat diperlukan bagi nafas dan kehidupan sejarah mereka.

Kedua, ideologi memiliki eksistensi material, yakni aparatus-aparatus dan praktek-prakteknya sehingga di dalamnya ideologi bisa hidup. Dalam aparatus dan praktek-praktek inilah ideologi diyakini dan dihayati oleh semua kelompok, dan terus mereproduksi kondisi-kondisi dan hubungan tatanan masyarakat yang sudah ada, yakni tatanan masyarakat industri kapitalis. Menurutnya, agar ideologi diterima, diyakini dan dihayati oleh semua kelompok, maka ia harus dimaterialkan. Ideologi hidup dalam praktek-praktek kelompok kecil, dalam citraan, dan obyek yang digunakan dan ditunjuk masyarakat, dan dalam organisasi-organisasi. Misalnya, pada sekolah-sekolah, rumah tangga, organisasi perdagangan, media massa, olahraga, pengadilan, partai politik, universitas dan seterusnya. Ideologi, menurut Althusser, eksis dalam dan melalui lembaga-kembaga ini. Aparatus adalah eksistensi material ideologi.

Ketiga, ideologi membentuk individu-individu konkrit menjadi subyek. Dalam aparatus-aparatus, ideologi disosialisasikan dan diinterpelasi dalam diri subyek. Interpelasi subyek ini lalu membentuk realitas nampak pada kita sebagai ‘benar’ dan ‘jelas’. Misalnya begini: ketika kita bersepeda motor, tiba-tiba ada bunyi peluit di belakang kita. Serentak terbayang dalam benak kita: ada polisi dan ada pelanggaran yang mungkin kita lakukan. Lalu kita memalingkan muka dan berbalik. Hadirnya disposisi tentang ‘benar/salah’, atau ‘melanggar/tidak melanggar’ serta adanya ketundukan atas wacana otoritas (polisi) pada dasarnya telah menunjukkan hadirnya suatu ideologi. Ideologi menggerakkan diri kita secara nir-sadar, melalui proses interpelasi subyektif. Jikalau seandainya kita tidak mengakui bahwa interaksi dengan polisi adalah ideologis, justeru di situlah kekuatan ideologi. Yakni ‘denegasi’ praktis dari karakter ideologi sendiri. Ideologi bekerja secara nir-sadar dan menjadi bagian hidup dan gaya hidup sehari-hari.

Aparatus-aparatus ideologis ini merupakan alat hegemoni yang paling canggih untuk melanggengkan kekuasaan, melestarikan struktur kelas dominan, dan mengabadikan penindasan. Caranya, dengan mengusahakan sedapat mungkin agar ideologi itu diyakini oleh seluruh kelas dan kelompok, baik kelas berkuasa maupun yang dikuasai. Menurut Althusser, di sinilah ciri-ciri ideologi yang membingungkan itu memainkan peran. “Fungsi kelas ideologi adalah bahwa ideologi yang berkuasa adalah ideologi dari kelas yang berkuasa; Ideologi berkuasa membantu kelas penguasa dalam menguasai kelas tereksploitasi sekaligus memapankan dirinya sendiri sebagai kelas penguasa”.

Teori ideologi sebagai penipuan penguasa memperlihatkan bahwa mereka yang berada dalam posisi dominan sesungguhnya sama sekali tidak hadir secara alamiah atau karena keahliannya. Karena jika benar demikian maka tidak lagi dibutuhkan ideologi, juga tak perlu menjelaskan atau mempertahankan eksploitasi mereka. Sebaliknya ini menunjukkan persistensi stratifikasi sosial-politik dan ideologi dominan memerlukan legitimasi dua belah pihak dari penguasa dan yang dikuasai. Bila ideologi ini diterima oleh kedua pihak, ini artinya struktur kekuasaan dan privelegi yang timpang itu bisa dilestarikan. Dalam konteks ini ideologi sering menggunakan “bahasa resiprositas”. Dia mencontohkan bahwa imperialisme menganggap dirinya sah karena merasa bertanggng jawab atau berjasa membangun unit-unit sosial dan pentingnya hubungan sosial yang harmonis.

Apa yang dikemukakan Althusser ini memberikan insight baru tentang gagasan bagaimana ideologi itu dibentuk dan pertahankan serta apa efek-efeknya. Misalnya: bagaimana perbedaan kelas diinstitusionalisasikan melalui lembaga-lembaga sosial seperti sekolah; bagaimana institusi pendidikan itu menempatkan masyarakat dalam relasi kelas-kelas yang ada; bagaimana mitos tentang persamaan individu, persamaan kesempatan, dan prestasi individu dimasukkan dalam teks dan praktek program sekolah dan kebijakan pendidikan nasional. Mitos-mitos kesamaan yang tumbuh dalam “produksi ketaksamaan” ini (produksi ketidaksetaraan kelas dan kelomopok sosial, diskriminasi gender, misalnya) menunjukkan gagasan-gagasan yang ideologis.

Fungsi ideologi lainnya ialah menghubungkan masyarakat satu sama lain, dengan suatu dunia dan terutama diri mereka sendiri. Ideologi memberikan identitas tertentu. Misalnya, jika seorang individu mengimani Tuhan kemudian pergi sembahyang secara teratur, mengakui dosa-dosanya dan seterusnya; keyakinan itu lalu direalisasikan dalam praktek-praktek tertentu yang diatur oleh ritual-ritual dengan menyediakan upacara-upacara yang melibatkan gerak dan sikap tubuhnya sebagai ekspresi kekuasaan yang saling terkait serta berhubungan dengan aparatus ideologis.

Dari contoh-contoh di atas jelaslah bahwa suatu gagasan memuat sekaligus tindakan, sentimen, dan gesturenya. Gagasan-gagasan itu hidup dalam tindakan-tindakan. Tindakan ini lalu menjadi praktik sehari-hari yang dikendalikan oleh ritual yang dia lakukan. Tiga hal ini (gagasan, praktek dan ritual) merupakan aspek material dari aparatus ideologis. Dalam aparatus itu ideologi bekerja, memproduksi subyektifitas, dan menegaskan identitas tentang siapa kita sesungguhnya.


Ideologi sebagai Praktek Kebudayaan

Semakin jelas sekarang, gagasan-gagasan Althusser dan Foucault di atas memberi saham besar bagi pemikiran baru tentang konsep ideologi. Ideologi tidak lagi dilihat sebagai salah atau benar, tapi justeru memberikan kerangka dasar fundamental bagi individu dalam menafsirkan pengalaman dan ‘hidup’ sesuai dengan kondisi mereka. Kerangka dasar ini tidak hanya bersifat mental, tapi eksis sebagai praktis hidup kelompok sehari-hari. Dengan menganggap ideologi sebagai praktek-praktek material atau praktek budaya, maka kita bisa mengatakan bahwa sesungguhnya ideologi itu hidup bergerak dan karena itu pula manusia sendiri selalu hidup dalam suatu ideologi, di dalam representasi tertentu dari dunianya.

Dalam praktek-praktek budaya dan kebiasaan-kebiasaan sehari-hari inilah ideologi sesungguhnya direproduksi. Yakni, melalui aparatus-aparatus ideologis sebagaimana ditegaskan oleh Althusser. Jika demikian, praktis ideologi memasuki seluruh ruang dalam kehidupan sehari-hari kita secara nir-sadar. Ideologi menjadi bagian organik dari seluruh totalitas sosial dan dalam aktifitas keseharian. Karena unit-unit sosial merupakan bentukan ideologis, produk dari formasi diskursif kekuasaan (menurut Foucault) atau efek-efek dari apparatus ideologis yang beragam (dalam bahasa Althusser), maka untuk memahami totalitas sosial dan budaya ini membutuhkan “eksegesis” sebagaimana teks-teks sejarah dan sastra.

Pandangan bahwa budaya dan ideologi merupakan fenomana keseharian ini tidak lantas berarti cengkeraman ideologi sudah lemah, atau mungkin dianggap telah berakhir. Justeru ideologi dan kekuasaan telah mencengkeram seluruh tatanan sosial secara lebih luas dan kompleks ketimbang apa yang selama ini dibayangkan. Ideologi beroperasi di semua lini dan diproduksi terus-menerus dalam ritual-ritual dan perkumpulan-perkumpulan, kesenian-kesenian, dan citraan-citraan ideologis di mana representasi-representasi dan kategori-kategori dibangkitkan dan disebarkan. Oleh karena itu, kini ideologi tidak lagi bisa dipahami sekadar sebagai produk kelas berkuasa atau efek dari kekuatan-kekuatan produksi. Melainkan hasil dari kombinasi berbagai elemen lain dan kekuasaan yang kompleks dan tersebar.

Di dalam diskursus kebudayaan mutakhir, sebagaimana pandangan Stuart Hall, kebudayaan sesungguhnya tidak lagi bisa dipahami sebagai cerminan praktek-praktek lain di dunia idea. Melainkan ia sendiri adalah sebuah praktek, yakni praktek “penandaan” yang menghasilkan makna. Jadi bagi kaum strukturalis dan post-strukturalis, penekanan studi kebudayaan kini bergeser dari masalah isi budaya ke arah tipe-tipe penataan (ordering), dari pertanyaan tentang apa ke bagaimana sistem-sistem budaya itu. Misalnya, dalam era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan teknologi dan sarana komunikasi sekarang ini, masyarakat betul-betul dicekoki oleh produksi konsumsi. Di sini kekuatan modal menghadirkan kekuasaan representasi melalui kuasa tanda dan simbol: dalam iklan dan mode, misalnya. Konsekuensi politiknya adalah bahwa seluruh tatanan sosial sesungguhnya adalah hasil sebuah konstruksi saja dari, dan berbarengan dengan, kekuasaan modal yang diproduksi secara terus menerus.

Singkatnya, ideologi sekarang ini merupakan praktek budaya; suatu efek yang bersifat kultural dan terkait dengan institusi-institusi, kelompok-kelompok, dan struktur-struktur tertentu. Ideologi beroperasi secara ‘tersebar’ (decentered) dan menghadirkan dirinya dalam ‘ideologi-sebagai-kebudayaan.’ Artinya, ideologi berada dalam kompleksitas hubungan-hubungan antara berbagai bentuk kebudayaan (pengetahuan, citraan, dan lain-lain) dan institusi-institusinya, serta wacana-wacana dan aparatus-aparatusnya.

Lalu pertanyaannya bila kebudayaan sehari-hari tidak lepas dari ideologi, bagaimana dengan sains ilmiah. Apakah ia juga bersifat ideologis? Foucault menegaskan bahwa relasi-relasi kekuasaan tidak berada di luar tipe-tipe relasi-relasi seperti proses ekonomi, relasi pengetahuan, relasi seksual, dan lain-lain. Melainkan kekuasaan justeru imanen dalam proses relasi itu. Kekuasaan adalah beragam relasi-relasi kekuatan yang beroperasi dan membentuk organisasi dalam ruang itu. Dengan demikian, sains sosial kini juga harus dilihat sebagai konfigurasi kekuatan-kekuatan itu yang membentuk landscape modernitas dan modernitas akhir. Sains sosial sendiri merupakan kekuatan dan bentuk kebudayaan yang tak bebas dari kepentingan. Demikian juga sains alam. Ia juga tak lepas dari kepentingan-kepentingan atau konsensus komunitas ilmuwan.

Dari uraian di atas makin jelas sekarang betapa besar sumbangan kaum (post) strukturalis terutama Louis Althusser dan Michel Foucault dalam memperkaya gagasan tentang ideologi dan kebudayaan. Keduanya membuka tabir beroperasinya ideologi dengan memikirkan kembali kekuasaan, cara kerja, dan manifestasi-manifestasinya, tak terkecuali dalam sains sosial. Tidak ada batas-batas lokasi ideologi. Ideologi tidak hanya ada dalam kolektifitas masyarakat borjuis atau dalam struktur-struktur kekayaan dan kerja mereka, melainkan tersebar ke seluruh tatanan sosial. Ia bukan hanya bersifat mental, tapi juga bereksistensi material dan historis. Ada keterkaitan antara pengetahuan dan institusi-institusi, bidang-bidang pengetahuan dan praktek-praktek kebudayaan sebagai tempat berbagai kekuasaan (sosial, ekonomi, politik) diproduksi.

Kesimpulan

Sekarang ini kita tidak bisa lagi memikirkan ideologi dan cara kerjanya dalam pengertian false consciousness atau memperlawankannya dengan sains, sebagaimana kaum marxis klasik lakukan. Ideologi sebagai pengetahuan-pengetahuan yang dijalankan demi suatu kepentingan justeru menjadi praktek kebudayaan sehari-hari yang memberikan orientasi dan identitas suatu kelompok. Ideologi tersebar sebagaimana kekuasaan yang tersebar dalam praktek-praktek diskursif kehidupan.

Ideologi masuk dalam keseharian kita, dalam jaring-jaring kehidupan. Dengan meminjam kajian tentang mitos dan tanda, bisa dikatakan bahwa jika budaya adalah sistem simbol yang terdiri dari berbagai sistem tanda, sementara penanda-penanda sendiri bersifat arbriter sebagaimana Barthes katakan, maka kita sungguh bisa melihat bagaimana suatu kebudayaan dan segala bentuk ritual dan hidup sehari-hari menjadi arena pertarungan ideologi untuk memainkan kuasanya. Kebudayaan yang merupakan konvensi sosial adalah sasaran sistematik untuk dibuat seolah-olah ilmiah, menjadi mitos. Membongkar aturan-aturan atau kode-kode dibalik mitos inilah tugas studi kebudayaan sekarang ini.

 

Perihal Teologi Pembebasan

Pengantar

Berbicara tentang teologi pembebasan dalam diskusi-diskusi resmi atau tak resmi memang terasa problematik. Seringkali diskusi seperti ini dicurigai sebagai gerakan pemikiran kekiri-kirian yang diasosiasikan dengan pendukung “komunisme” atau dianggap menyebarkan pemikiran subversif. (khususnya pada era Orde Baru lalu). Setelah Orba jatuh dan kebebasan berpikir mulai terbuka diskusi semacam ini juga dianggap tabu dan dipandang dengan mata sinis oleh sebagian kalangan.

Rupanya persepsi itu disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, adanya kesalahpahaman mengenai term teologi pembebasan (liberation theology) itu sendiri. Kedua, karena teologi pembebasan adalah terminologi yang lahir dari tradisi Kristiani, khususnya di Amerika Latin, dan tidak pernah dikenal secara eksplisit dalam khazanah pemikiran Islam. Dan ketiga, karena teologi pembebasan sedikit banyak diinspirasikan oleh ideologi kiri dari pemikiran Marxisme yang dalam sejarah perpolitikan Indonesia dianggap memiliki cacat yang tak termaafkan setelah peristiwa G 30 S.

Tulisan reflektif ini dimaksudkan untuk sedikitnya mengklarifikasikan asumsi-asumsi yang menjadi keberatan berbagai kalangan terhadap wacana teologi pembebasan. Dan untuk tujuan ini saya berusaha menyelami sejarah sekaligus menemukan makna dan signifikansi teologi pembebasan bagi pemahaman keagamaan kita ke arah pengertian yang lebih transformatif, rasional dan fungsional.

 

2. Teologi Pembebasan, Apa Itu?

Pada mulanya istilah “teologi pembebasan” atau liberation theology diperkenalkan oleh para teolog Katolik di Amerika Latin pada pertengahan abad lalu. Para teolog ini mau membedakan antara metode teologi pembebasan dengan teologi tradisional. Teologi tradisional adalah teologi yang membahas tentang Tuhan semata-mata, sementara teologi pembebasan adalah cara berteologi yang berasal dari refleksi iman di tengah realitas konkrit yang menyejarah. Yakni teologi yang memprihatini nasib dan solider kepada mereka yang menderita ketidakadilan, kalah, miskin, ditindas dan menjadi korban sejarah; teologi yang mau mentransformasikan dunia. Atau dalam ungkapan Gustavo Gutierrez:

“This is a theology which does not stop with reflecting on the world, but rather tries to be part of the process through which the world is transformed. It is theology which is open in the protest against trampled human dignity, in the struggle against the plunder of the vast majority of humankind, in liberating love, and in the building of a new, just, and comradely society—to the gift of the Kingdom of God”.

(Ini [teologi pembebasan] adalah sebuah teologi yang tidak hanya merefleksikan dunia, melainkan juga mencoba melakukan proses transformasi terhadapnya. Ia [teologi pembebasan] adalah teologi yang berupaya untuk melawan pelecehan terhadap martabat manusia, melawan perampasan oleh mayoritas, berupaya untuk membebaskan cinta dan membangun suatu masyarakat baru yang adil dan penuh persaudaraan – untuk meraih rahmat dari Kerajaan Tuhan”).(Alfred T. Hennelly, SJ, 1995: 16)

Ada banyak macam penamaan yang secara subtansial amat dekat dengan gagasan teologi pembebasan ini, diantaranya: teologi pemerdekaan (Romo Mangun), teologi Kiri (Kiri Islam ala Hassan Hanafi), teologi kaum mustadh’afin, teologi kaum tertindas, dan lain-lainnya. Masing-masing penamaan ini hendak mengartikulasikan suatu cara beragama yang otentik, yang lahir dari situasi, sejarah dan keprihatinan atas penderitaan kaum miskin dan tertindas.

Oleh karena itu dengan pengertian tersebut jelas sekali teologi pembebasan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan “bebas semau gue” atau sikap permisif sebagaimana yang sudah disalahpahami. Anggapan seperti itu tentu saja salah alamat dan menunjukkan kebodohan saja. Untuk lebih jelas mengenai karakter dan jalan yang ditempuh teologi pembebasan, mari sejenak melihat teologi pembebasan Amerika Latin.

 

Belajar dari Teologi Pembebasan Amerika Latin

Teologi pembebasan di Amerika Latin merupakan sebuah entitas gerakan sekaligus juga doktrin. Gerakan ini muncul karena perpaduan dari perubahan-perubahan internal dan eksternal. Secara internal gerakan ini muncul berbarengan dengan perkembangan aliran-aliran teologis dan keterbukaan terhadap perkembangan sains sosial modern. Sementara secara eksternal ia didorong oleh dua situasi: pertama adalah keterbelakangan, ketergantungan, keterpinggiranm ketertindasan dan kemiskinan yang diakibatkan oleh proses industrialisasi sejak tahun 1950-an di seluruh benua di bawah arahan modal multinasional; dan kedua meningkatnya perjuangan sosial, gerakan-gerakan gerilya, pergantian pemerintah melalui kudeta militer dan krisis keabsahan sistem politik, sejak meletusnya revolusi Kuba tahun 1959.

Gerakan teologi pembebasan ini melibatkan sektor-sektor penting gereja (para romo, pengamal tarekat atau ordo-ordo, para uskup), gerakan keagamaan orang awam, keterlibatan pastoral yang merakyat serta kelompok-kelompok basis masyarakat gereja yang menghimpun diri menentang sebab-sebab penghisapan dan penindasan, atas dasar nalar moral dan kerohanian yang diilhami oleh budaya keagamaan mereka. Dorongan moral dan keagamaan inilah yang merupakan faktor hakiki yang menggerakkan semangat ribuan aktifis dalam serikat-serikat buruh, kerukunan-kerukunan tetangga, dan front-front kerakyatan untuk melawan penindasan dan kemiskinan.

Adapun doktrin atau ajaran-ajaran penting yang menggerakkan mereka di antaranya adalah: pertama, gugatan moral dan sosial yang amat keras terhadap ketergantungan pada kapitalisme sebagai suatu sistem yang tidak adil dan tidak beradab, sebagai suatu bentuk dosa struktural. Kedua, penggunaan alat analisis Marxisme dalam rangka memahami sebab musabab kemiskinan, pertentangan-pertentangan dalam tubuh kapitalisme dan bentuk-bentuk perjuangan kelas. Ketiga, pilihan khusus bagi kaum miskin dan kesetiakawanan terhadap perjuangan mereka menuntut kebebasan. Keempat, pengembangan basis kelompok-kelompok masyarakat agama di kalangan orang-orang miskin sebagai suatu bentuk baru keagamaan dan alternatif terhadap cara hidup individualis yang dipaksakan oleh sistem kapitalis. Kelima, suatu penafsiran baru Kitab Suci yang memberikan perhatian penting pada bagian-bagian yang mengusung paradigma perjuangan pembebasan rakyat yang diperbudak. Keenam, perlawanan terhadap permberhalaan sebagai musuh utama agama, yakni berhala-berhala baru: uang, kekayaan, kekuasaan, keamanan nasional, negara, militerisme, peradaban Barat. Ketujuh, sejarah pembebasan manusia adalah antisipasi akhir dari Keselamatan. Dan kedelapan, kecaman terhadap teologi tradisional yang bercorak platonik yang memisahkan antara sejarah kemanusiaan dan ketuhanan (Michel Lowy, 1999: 25-30).

Dari susunan doktrin teologi pembebasan di atas nampak jelas sekali bahwa gerakan tersebut tidak semata-mata diilhami oleh spirit moral dan keagamaan, melainkan juga oleh keterbukaan para pemrakarsa dan aktivisnya terhadap pemikiran-pemikiran filsafat dan ilmu-ilmu sosial modern, khususnya Marxisme. Rupanya karena itulah dalam perjalanannya model teologi pembebasan ini juga banyak menerima kritik bahkan cemoohan dan tentangan dari berbagai kalangan. Di antara para pengkritik sendiri adalah para agamawan konservatif yang masih mempertahankan ortodoksi. Mereka pada umumnya berada, berlindung dan mengambil untung dari kekuasaan yang ada yang justeru lalim dan menindas, dan untuk itu mereka menggunakan dalil-dalil keagamaan untuk mempertahankan status quo. Para pengkritik lain menganggap teologi pembebasan cenderung menggunakan jalan kekerasan sebagai alat perlawanan. Hal ini dipandang berkebalikan dengan nilai agama yang membawa pesan cinta kasih dan perdamaian.

Teologi pembebasan tentu sangat berbeda dengan pandangan teologis kaum konservatif di atas yang menggunakan agama sebagai instrumen status quo. Kaum konservatif telah memperlakukan “agama sebagai candu” untuk mencapai kenikmatan sesaat, seraya mengabaikan panggilan profetik kenabian yang bersolidaritas terhadap kaum miskin dan tertindas. Di tangan kaum konservatif ini pulalah energi agama yang sesungguhnya menjadi kekuatan untuk melawan kezaliman, ketidakadilan dan penindasan menjadi susut dan akhirnya musnah.

Konservatisme biasanya juga selalu berkarakter sempit dalam cara berpikir dan tertutup dalam wawasan. Mereka menolak keterbukaan karena dianggap mengurangi kadar keimanannya. Sehingga dalam beberapa kesempatan mereka menolak teologi pembebasan yang telah memakai analisis kelas yang dikembangkan Marxisme. Bagi mereka konflik kelas dalam Marxisme telah menyebabkan agama telah kehilangan watak spiritualitasnya sekaligus menjadi sekadar gerakan sosial yang kerap diperjuangkan dengan cara-cara kekerasan.

Oleh pandangan-pandangan yang sempit inilah, lalu dalam setiap wacana dan gerakannya teologi pembebasan banyak disalahpahami dan dicibir. Bukannya menjadi sarana belajar dan refleksi kritis atas praksis untuk memperkaya pemahaman keagamaan yang sudah usang.

Ada beberapa tokoh atau teolog di Amerika Latin yang mulai membangun dan merumuskan teologi pembebasan. Di antara mereka yang berpengaruh dan sedikit disinggung di sini adalah Gustavo Gutierrez dan Joan Luis Segundo. Gutierrez dalam bukunya berjudul A Theology of Liberation menyatakan:

“If faith is a comitment to God and to human beings, it is not possible to believe in today’s world without a comitment to the process of liberation”.

(Bila iman adalah suatu komitmen kepada Allah dan umat manusia, maka mustahil keberimanan kita pada hari ini mengabaikan komitmen kepada proses pembebasan umat manusia (dari segala kemiskinan dan penindasan) (Alfred T. Hannelly, 1995: 11).

Di sini jelas bagi Gutierrez bahwa pembelaan terhadap kaum miskin dan perlawanan terhadap para penindas sesungguhnya adalah konsekuensi dari iman seseorang kepada Allah. Iman seseorang tidak bermakna apapun tanpa keterlibatan dirinya dalam praksis sosial dan sejarah. Karena bagi Gutieres, makna teologi itu sendiri sebenarnya adalah suatu refleksi kritis terhadap praksis dalam terang Kitab Suci. Oleh karena itu pula makna spiritualitas selalu terkait langsung dengan tindakan.

Gutierrez menunjukkan tiga karakteristik teologi pembebasan (Alfred T. Hannelly, 1995: 12). Pertama, teologi pembebasan adalah pemahaman yang progresif dan terus menerus atas dasar komitmen kemanusiaan dan keberimanan yang selalu hidup. Oleh karena itu teologi sesungguhnya adalah praksis pembebasan dari belenggu ekonomi, sosial, politik, dan dari sistem masyarakat yang mengingkari kemanusiaan dan dari kedosaan yang merusak hubungan manusia dengan Allah. Kedua, teologi adalah sebuah refleksi yang lahir dari tindakan. Gutierrez menulis dalam sebuah paragraf yang cantik:

“Theology is a reflection— that is, a second act, a turning back, a reflecting, that comes after action. Theology is not first; the commitment is first. Theology is the understanding of commitment, and the commitment is action. The central action is charity, which involves commitment, while theology arrives later on”.

(Teologi adalah sebuah refleksi, yakni suatu tindakan kedua, suatu gerak balik, sebuah perefleksian yang dilakukan setelah bertindak. Jadi bukan teologi, melainkan komitmenlah yang pertama. Teologi adalah hasil pemahaman dari komitmen, dan komitmen itu adalah kesediaan untuk bertindak. Inti tindakan adalah kemurahan hati yang disertai komitmen, setelah itu baru teologi hadir)

Oleh karena itu teologi harus menjadi kritis ketika berhadapan dengan masyarakat maupun terhadap institusi keagamaan. Ia harus menjadi pembebas bagi kedua institusi sosial itu dari berbagai macam ideologi, keberhalaan dan alienasi. Sehingga teologi itu sendiri pada akhirnya akan memberikan orientasi dan inspirasi bagi aksi tindakan selanjutnya. Inilah yang disebut dengan keberimanan dalam praksis sejarah, keberimanan yang transformatif. Dan ketiga, setiap tindakan kita harus disertai dengan refleksi untuk memberi orientasi masa depan yang diyakini dan diharapkan dan koherensi agar ia tidak jatuh pada aktivisme.

Meskipun Gutierrez telah memberikan ancangan rumusan metode teologi pembebasan, baru kemudian Juan Luis Segundo yang berhasil mensistematisasi rumusan metodologi teologi pembebasan. Sistematisasi inilah yang nantinya menjadi acuan berbagai metode “teologi-teologi pembebasan” (liberation theologies) lainnya di dunia.

Dalam salah satu tulisannya “Two Theologies of Liberations”, ada pernyataan menarik dari Segundo yang dikutip oleh Michel Lowy (Michel Lowy, 1999). Ia menyatakan, “Jangan lupa kita hidup di tanah-tanah yang paling agamis dan di tanah-tanah yang paling tidak berprikemanusiaan”. Pernyataan ini tampaknya menyembunyikan tapi sekaligus menyingkap suatu ironi. Bagaimana mungkin penindasan justeru terjadi dalam masyarakat yang mayoritas beragama yang meyakini bahwa ajaran agamanya melawan ketidakadilan dan penindasan. Mengapa tidak ada protes atau perlawanan atas kondisi ini dari pihak kaum agamawan? Apakah kaum agamawan buta atau membutakan diri terhadap situasi yang ada?

Segundo menyadari bahwa ketidakmampuan mengambil sikap yang diperlihatkan para agamawan itu disebabkan ketidakmampuannya melihat persoalan sosial dan menganalisis struktur-struktur penindasan yang ada. Bukan hanya itu, berlanjutnya penindasan karena agama mengalami impotensi karena pemahaman terhadap teologi dan kitab suci didominasi oleh tafsir yang justeru tidak sensitif terhadap persoalan masyarakat tertindas. Oleh karena itu menurutnya perlu dilakukan deideologisasi terhadap realitas sosial dan superstruktur serta deideologisasi terhadap interpretasi kitab suci, agar iman kita bisa merespon situasi konkrit penindasan dan ikut berjuang bersama-sama kaum tertindas melawan para penindas.

Kebekuan agamawan dalam merespon situasi konkrit ini mendorong Segundo untuk menawarkan metode berteologi yang bukan hanya sebagai usaha “ortodoksi” tapi juga suatu “ortopraksis”. Yang dimaksud adalah bahwa berteologi bukan hanya untuk memperteguh dan memantapkan ajaran, tapi juga menjadikan pengalaman konkrit sebagai basis menerapkan sebuah rumusan ajaran. Segundo merumuskan hal ini dalam suatu bentuk “lingkaran hermeneutik”. Apakah yang dimaksud dengan “lingkaran hermeneutik”?

“Hermeneutika” adalah proses interpretasi untuk membuat pesan kitab suci relevan dengan zamannya, sedangkan “lingkaran” menunjukkan bahwa usaha interpretasi itu bertitik tolak pada realitas baru yang lalu menuntut kita menginterpretasikan ajaran kitab suci secara baru pula dalam rangka mengubah realitas sebagaimana dituntutkan, dan akhirnya kembali kepada usaha menginterpretasikan kembali firman Allah, dan seterusnya. Menurut Segundo, lingkaran hermeneutik bisa berlangsung dengan dua syarat: pertama, kesangsian-kesangsian atas situasi nyata sungguh-sungguh dalam memperkaya, dan kedua, interpretasi atas kitab suci juga bersifat sungguh-sungguh dalam dan memperkaya (Fr. Wahono Nitiprawiro, 2000: 36-37).

Dalam lingkaran hermeneutik ini sang penafsir dituntut untuk terus menerus melakukan kritik terhadap realitas yang ada sekaligus mengkritik pula pemahaman teologis terhadap realitas tersebut, dan lalu menafsirkannya kembali demi perubahan realitas tersebut. Dengan kata lain, di belakang kritik tersebut sesungguhnya kita selalu dituntut untuk selalu “mencurigai” suatu tafsir. Atau mencurigai status iman seseorang kepada siapa dia mengabdikan imannya. Pengandaiannya adalah bahwa iman itu sendiri bersifat ideologis karena ia lahir dari tanggapan yang menyejarah dan subjektif terhadap wahyu Allah. Oleh karena itu praksis iman seseorang harus senantiasa diberi kritik dengan selalu membenturkannya dengan realitas konkrit. Baru dengan begitu, makna keberimanan seseorang akan membawa transformasi bagi kehidupan ke arah yang lebih baik.

Berikut ini model “lingkaran hermeneutika”:

Dari model “lingkaran hermeneutika” di atas tampak ada 4 langkah penafsiran yang diajukan Segundo (Fr. Wahono Nitiprawiro, 2000: 36-37; Alfred T. Hannelly, 1999: 28). Langkah itu bisa diuraikan sebagai berikut:

Langkah pertama: cara kita mengalami “realitas yang terumuskan” mendorong kita pada posisi “kecurigaan ideologis”. Pada tahap ini, dalam pengamatan Segundo, Harvey Cox dalam bukunya The Secular City (1966) gagal memasuki kesangsian ideologis karena ia bersikap anti pragmatisme sosial. Cox terlalu sibuk pada langkah pertama yakni cara yang kaya dan mendalam mengalami realitas, dia hanya menyangsikan cara lama mengalami realitas yang bertumpu pada kaidah-kaidah nilai kemanusiaan tertinggi, dan mengajukan alternatif cara baru mengalami realitas yang menjunjung tinggi nilai-nilai efisiensi teknologis tanpa menelisik kepentingan ideologis di balik realitas itu.

Langkah kedua: menerapkan “kecurigaan ideologis” pada seluruh superstruktur ideologis dan khususnya pada teologi. Dalam konteks ini, menurut Segundo, Marx sukses membongkar ideologi dalam masyarakat, tapi gagal membangun transformasi dalam agama, bahkan tidak menyentuh sedikitpun.

Marx sukses pada langkah pertama mengalami realitas sejarah sebagai perjuangan kelas. Ia juga memiliki komitmen mentranformasikan dunia dalam konsepnya tentang “materialisme sejarah”, yakni sebuah patokan bahwa basis hubungan sosial ekonomi menentukan superstruktur ideologi, budaya dan agama. Oleh karena itu dalam rangka menghilangkan cengkeraman penguasa borjuis, hubungan sosial ekonomi itu harus diubah dari feodalisme ke kapitalisme, dari kapitalisme ke sosialisme yang akhirnya ke komunisme. Letak kesangsian ideologis Marx adalah keyakinannya bahwa ideologi yang berkuasa selalu merupakan ideologi dari kelas yang sedang berkuasa. Namun sayangnya komitmen transformasi masyarakat Marx berhenti, ia tidak melanjutkan logikanya mengubah superstruktur untuk pula mengubah agama (sebagai salah satu unsur superstruktur).

Langkah ketiga: Dari cara baru mengalami realitas teologis mendorong kita pada “kecurigaan eksegesis”. Kita mulai mengangsikan interpretasi Kitab Suci yang ada karena tidak mengikutsertakan data yang penting. Menurut Segundo, Max Weber dalam The Protestant Ethic and the spirit of Capitalism (1904-1905) sukses melihat peranan agama. Weber secara sosio-psiko-historis berhasil mencari peranan superstruktur (agama, etika protestan) terhadap hubungan sosial ekonomi (gairah usaha untuk memperoleh untung, kerja keras, berhemat, menabung dan menumpuk harta—spirit kapitalisme). Tapi sebagai seorang Calvinis ia tidak memiliki komitmen terhadap transformasi masyarakat.

Langkah keempat: kita mencapai hermeneutika baru dengan menginterpretasikan Kitab Suci secara baru, lebih kaya dan mendalam. Dengan demikian kita juga mengalami realitas secara baru pula. Menurut Segundo, James H. Cone adalah seorang teolog asal Arkansas, negara bagian Amerika Serikat yang dengan komitmennya terhadap transformasi pembebasan manusia berhasil melalui tahap-tahap penafsiran teologi pembebasan dalam praksis sosial melalui karyanya A Black Theology of Liberation (1970).

Cone merumuskan teologi pembebasan kulit hitam dalam rangka memberikan acuan teologis dan praktis untuk pembebasan warga kulit hitam yang miskin, tertindas, dan terdiskriminasi. Ia bertolak dari praksis iman yang dialaminya yakni pembebasan kelas kulit hitam di Amerika Utara, yang ditindas oleh kelas kulit putih lengkap dengan ideologi dan teologi pembenaran status quo-nya yang menindas.

Cone mepresentasikan Black Theology­-nya ke dalam 4 langkah. Langkah pertama Cone mengalami realitas di Amerika Utara sebagai perjuangan pembebasan kelas kulit hitam dan makna ketuhanannya dihubungkan dengan solidaritas dengan mereka yang dibelenggu penindasan. Langkah kedua setelah melakukan analisis sosial untuk membongkar sistem-sistem dominasi, seperti rasisme, seksisme, kolonialisme, kapitalisme dan militerisme, Cone sampai pada kecurigaan ideologis terhadap pendapat kelas kulit putih bahwa warna kulit jangan dijadikan titik perbedaan demi kesatuan dan universalitas manusia. Langkah ketiga Cone mengalami kecurigaan eksegesis terhadap cara berteologi kelas kulit putih yang berpusat pada universalitas konteks, yang menutup kemungkinan mendekati Kristus yang terikat dengan kebudayaan tertentu. Dalam hal ini Cone berupaya menafsirkan kembali pesan-pesan Kitab Suci yang sudah didistorsi dan menjadikan Allah menjadi spirit pemberdayaan masyarakat agar lebih manusiawi. Terakhir Cone menekankan cara baru yang kaya dan mendalam mengalami Kitab Suci sebagai wahyu yang relevan bagi perjuangan kelas kulit hitam untuk pembebasan zaman kita sekarang. Termasuk juga disini kebutuhan terhadap bahasa teologi baru yang hadir di dalam cerita-cerita, dongeng-dongeng, nyanyian, kotbah, dan ajaran-ajaran yang lebih bernada membebaskan.

Dari uraian di atas, tampak sekali bahwa Cone benar-benar merumuskan model cara beragama sekaligus penghayatan iman secara baru. Yakni iman yang diterangi oleh Kitab Suci yang senantiasa berdialog dengan realitas. Hal ini juga menunjukkan bahwa teologi pembebasan bukanlah semacam teologi yang sempit, kolot, dan tertutup yang hanya terkesima oleh warisan masa lalu. Melainkan teologi yang selalu berdialog dengan realitas yang membuatnya selalu relevan bagi pemeluknya.

Cara berteologi yang demikian itu menyadari betul bahwa iman sendiri sesungguhnya adalah refleksi individual atau penghayatan terhadap Firman Allah dalam situasi konkrit dan menyejarah. Dengan demikian, berteologi semacam ini sungguh-sungguh akan mendorong untuk lebih bersikap dewasa dan terbuka kepada realitas dan perkembangan pengetahuan yang bisa menjadi bahan untuk memperkaya keberagamaan kita, terutama dalam mengambil sikap terhadap realitas sejarah yang selalu bergerak dinamis.

 

 

 

 

4. Teologi Pembebasan Islam, Adakah?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, pertama-tama kita perlu mengetahui kenyataan bahwa gema teologi pembebasan sejak lahirnya pada tahun 50-an dan 60-an abad lalu telah menjadi inspirasi berharga bagi perkembangan teologi-teologi pembebasan lainnya. Di Amerika Utara misalnya ada teologi pembebasan feminis yang digerakkan oleh beberapa tokoh berpengaruh, misalnya: Elizabeth Schussler Fiorenza, Rosemary Radford Ruether, Elizabeth Johnson, Jacquelyn Grant, dan lain-lain; lalu teologi kulit hitam dengan tokoh-tokohnya, seperti James H. Cone, Martin Luther King, Jr, Malcolm X., dan Delores S. Williams; ada teologi pembebasan Hispanik dengan tokoh-tokohnya Allan Figueroa Deck, dan Mujesrista Theology; ada teologi pembebasan Afrika dengan tokoh-tokohnya Benezit Bujo, Mercy Amba Oduyoye; dan tak ketinggalan teologi pembebasan Asia dengan beberapa tokohnya Aloysius Pieris, Raimundo Panikkar, dan Chung Hyun Kyung.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa semangat dan prinsip teologi pembebasan bisa tumbuh di manapun dan dalam kebudayaan apapun ketika sistem dan struktur sosial dalam masyarakat berjalan timpang, diwarnai dengan kemiskinan, ketidakadilan, diskriminasi, serta adegan penindasan kelompok satu atas kelompok lainnya. Munculnya spirit pembebasan ini didorong oleh dua kecenderungan.

Pertama, dalam diri manusia sebenarnya menyimpan potensi fitrah, yakni kesadaran akan kemerdekaan diri. Potensi itu akan dirasakan dan tampak manakala manusia merealisasikan kebebasan dirinya dalam tindakan-tindakan konkrit. Ketika manusia merasakan dirinya tertekan oleh beban penindasan maka dalam dirinya muncul resistensi dan kehendak untuk membebaskan diri.

Kedua, dalam sebuah komunitas tertentu kesadaran pembebasan itu sudah ada dan tumbuh (minimal secara potensial) dalam tradisi budaya atau dalam dunia simbolik yang diyakini kebenarannya secara kolektif. Misalnya dalam dongeng, cerita sejarah, mitos, atau dalam teks-teks Kitab Suci. Fakta mengenai tumbuh suburnya ragam gerakan pembebasan di Asia dan Afrika di atas menunjukkan sekali lagi bahwa ia tidak sekadar dipengaruhi oleh faktor eksternal, tetapi juga faktor internal dalam budaya itu sendiri.

Oleh karena itu jika teologi pembebasan bisa tumbuh di berbagai kebudayaan, maka berdasarkan kedua hal tersebut di atas jawaban mengenai ada-tidaknya teologi pembebasan dalam Islam tampaknya bisa diperoleh pula. Pertama berdasarkan kesadaran internal umat Islam yang berkehendak mencari pembebasan dan melakukan transformasi sosial, dan kedua itu dilakukan melalui reinterpretasi terhadap sejarah dan kebudayaan umat Islam atau dengan melakukan rekonstruksi atas pesan-pesan normatif pembebasan dalam Islam sendiri.

Michael Amaladoss membuat penelitian yang sangat menarik mengenai berbagai bentuk teologi pembebasan, khususnya di Asia. Setelah mengkaji berbagai potensi dan watak pembebasan dalam agama-agama di Asia yang meliputi: agama Hindu, Buddha, Konghucu, Kristiani, Islam dan agama-agama Kosmis, Amaladoss menyimpulkan bahwa berbagai teologi tersebut menunjukkan bahwa semua agama memiliki segi-segi yang membebaskan, dan para nabi telah berusaha menyoroti unsur-unsur yang membebaskan itu dalam menafsirkan kembali tradisi agama mereka secara kreatif dan relevan (Michael Amaladoss, 2000: 270).

Adapun untuk mengetahui lebih lanjut secara diskursif wacana pembebasan dalam Islam, dalam bagian berikutnya kita akan melihat sekilas beberapa sarjana muslim seperti Ali Syariati, Asghar Ali Engeneer dan tentu saja Hasan Hanafi, yang telah mengangkat elemen-elemen pembebasan dalam Islam baik melalui pendekatan tekstual maupun pendekatan rekonstruksi simbolis dalam sejarah Islam.

 

5. Ali Syariati dan Humanisme Islam

Ali Syariati adalah seorang sarjana muslim yang disebut-sebut sebagai seorang ideolog revolusi Islam di Iran. Ia melahap habis pemikiran filsafat dan ilmu-ilmu sosial modern, dan secara cerdik menggunakan hazanah tersebut secara kritis untuk menganalisis kondisi sosial politik umat Islam. Usaha besar Syariati terletak pada upayanya untuk membeberkan kekhususan ideologi dan kebudayaan Islam, yang dengan demikian menunjukkan terdapat beberapa asas pokok pembebasan dalam agama Islam.

Ali Syariati menganalisis bahwa sesungguhnya dalam diri manusia terdapat nilai-nilai humanisme sejati yang bersifat ilahiyah sebagai warisan budaya moral dan keagamaan. Manusia adalah makhluk yang sadar-diri, dapat membuat pilihan-pilihan dan dapat menciptakan, sehingga di sepanjang sejarah umat manusia berusaha merealisasikan nilai-nilai humanisme tersebut meski yang didapatinya adalah kegetiran dan petaka saat melawan kekuasaan jahat dan penindas. Mengenai hal ini Syariati menyajikan tokoh-tokoh simbolik Kain dan Habel untuk menjelaskan dan menganalisis sejarah kekuasaan.

Menurut Qur’an Kain dan Habel mempersembahkan kurban kepada Allah. Hanyak kurban Habel yang diterima, sementara Kain, karena iri hati, membunuh Habel. Kain adalah petani dan Habel adalah gembala. Syariati melihat hal ini sebagai munculnya monopoli produksi pertanian dan hak milik pribadi yang menyebabkan munculnya ketidaksamaan ekonomis dan adanya dominasi kekuasaan. Dalam pandangan Syariati figur simbolis Kain dan Habel ini hadir di tengah sejarah kita dalam tiga bidang: uang, kekuasaan dan agama. Fir’aun adalah tokoh simbolis yang melambangkan kekuasaan, Croesus melambangkan kekayaan, dan Balaam memerankan kaum rohaniawan dan agamawan yang memonopoli agama sebagai sistem upacara ritual. Ketiganya tak henti-hentinya berkolaborasi satu sama lain dalam membangun dan melestarikan kecenderungan sejarah.

Di abad Pertengahan, manusia dikurung oleh Gereja Abad Pertengahan dan sistem teokrasi yang menindas, lalu di abad Modern yang menjunjung tinggi asas liberalisme manusia dijanjikan demokrasi sebagai kunci pembebasan namun yang didapatinya adalah teokrasi baru di tangan kapitalisme. Demikian juga komunisme yang menjanjikan persamaan dan kesetaraan ternyata menghasilkan fanatisme kekuasaan yang sama mengerikannya dengan Gereja Pertengahan. Di sisi lain kapitalisme telah menjadi imperialisme dan terus berkembang menjadi sebuah sistem yang mendominasi ekonomi dan kebudayaan negara-negara dunia ketiga. Kapitalisme telah menciptakan kebudayaan materialis yang seragam dan dalam proses melucuti akar-akar kebudayaan dan keagamaan rakyat, melucuti jati diri dan kemanusiaan mereka sehingga menjadi objek-objek yang mudah dieksploitasi. Dan celakanya dominasi budaya Barat ini dilestarikan secara sukarela oleh para intelektual setempat tanpa memahami hakikat baru penjajahan atas negara-negara dunia ketiga ini.

Dalam pandangan Ali Syariati semua ideologi dunia ini telah gagal membebaskan manusia dan sebaliknya menciptakan bentuk-bentuk ketidakadilan baru dan penindasan baru pula dalam ungkapan dan sarana yang berbeda. Karenanya untuk mengatasi problem sosial ini harus dicari jalan baru, sebuah jalan ketiga yang menurut Ali Syariati bisa diperankan oleh Islam.

Dalam konteks ini Ali Syariati nampaknya memimpikan lahirnya nabi-nabi baru. Nabi-nabi baru yang diperankan oleh para pemimpin spiritual atau intelektual sebagai para “pemikir bebas” yang telah memperoleh pencerahan. Menurut hemat saya, gagasan Ali Syariati ini sangat dekat dengan gagasan Gramsci yang memberi arti penting bagi keberadaan “intelektual organik”. Sebagaimana Gramsci, Ali Syariati menggambarkan nabi-nabi baru atau para “pemikir bebas” ini sebagai pemimpin spiritual atau intelektual yang mampu berbahasa selaras dengan bahasa rakyat pada zamannya, juga mampu merumuskan pemecahan-pemecahan masalah sesuai dengan suara-suara dan nilai-nilai budaya masyarakatnya. Mereka “membimbing” dan bekerja demi keadilan, serta berjuang demi pembebasan umat manusia dari ketidakadilan, penindasan, pemiskinan dan penjajahan. Inilah makna kesyahidan menurut Ali Syariati, yang harus dijalani oleh para Nabi yang dalam tradisi Syiah pernah dihadapi oleh Imam Husayn (Michael Amaladoss, 2000: 238-240).

Ali Syariati membubuhkan spirit pembebasan Islam dalam sebuah bait doa dalam Martyrdom berikut ini:

Ya Allah, Tuhan orang-orang yang terampas!

Engkau hendak merahmati

Orang-orang yang terampas di dunia ini,

Orang kebanyak yang bernasib tak berdaya

Dan kehilangan hidup,

Orang yang diperbudak sejarah,

Korban-korban penindasan

Dan penjarahan waktu,

Orang-orang celaka di atas bumi ini,

Menjadi pemimpin-pemimpin umat manusia

Dan pewaris-pewaris bumi.

Sekarang sudah tiba waktunya

Dan orang-orang terampas di atas bumi ini

Merupakan pengharapan akan janji-Mu

Hassan Hanafi dan “Kiri Islam”

Hassan Hanafi adalah seorang pemikir revolusioner, reformis tradisi intelektual Islam klasik, dan sekaligus penerus gerakan Al-Afghani. Ia menyelesaikan studi doktoralnya di Universitas Sorbonne, Paris, pada 1966, dan menjadi guru besar pada fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia menjadi terkenal setelah meluncurkan proyek pemikiran revolusionernya dalam sebuah jurnal Al-Yasar al-Islami: Kitabat fi Al-Nahdla Al-Islamiyah (Kiri Islam: Beberapa Esei tentang Kebangkitan Islam) yang terbit pada 1981 segera setelah kemenangan revolusi Islam di Iran. Sejak saat itulah pemikiran Hassan Hanafi akrab diidentikkan dengan “Kiri Islam” yang merupakan manifesto ideologi pembebasan dalam Islam. Seperti apakah konsep Kiri Islam itu?

Dalam sebuah artikel panjang berjudul “Madza ya’ni al-yasar al-islami” (Apakah Kiri Islam itu?) yang dimuat dalam jurnal Al-Yasar al-Islami, Hassan Hanafi menegaskan bahwa Kiri Islam adalah nama ilmiah atau istilah akademik yang menunjuk pada gagasan yang berpihak kepada orang-orang yang dikuasai, kaum tertindas, dan orang miskin. Kiri Islam adalah gerakan transformasi sosial untuk mengubah “kesadaran individual” menjadi “kesadaran kolektif” dalam rangka menyuarakan “mayoritas yang diam” di antara umat Islam, membela kepentingan seluruh umat manusia, mengambil hak-hak kaum miskin dari tangan orang-orang kaya, memperkuat orang-orang yang lemah dan menjadikan manusia sama dan setara. Salah satu elemen revolusionernya bisa ditemukan dalam Qur’an berbunyi:

“Dan Aku menhendaki kemenangan orang-orang yang tertindas di bumi, dan menjadikan mereka pemimpin-pemimpin dan pewaris-pewaris” (Qur’an, 28: 5) (Kazuo Shimogaki, 1993: 85-90).

 

 

Sebagaimana Ali Syariati, Hassan Hanafi yang memperoleh pendidikan Barat di Paris memanfaatkan hazanah filsafat dan ilmu-ilmu sosial modern untuk menganalisis kondisi sejarah dan realitas umat Islam di Arab dan di bagian dunia lain yang terpuruk dalam kemisikinan dan penjajahan. Melalui analisisnya yang tajam terhadap imperialisme Barat dan kondisi internal umat Islam inilah Hassan Hanafi akhirnya sampai pada gagasannya mengenai Kiri Islam.

Hassan Hanafi memperingatkan pembacanya akan bahaya imperialisme kultural Barat yang bisa menghapus kekayaan budaya bangsa-bangsa serta menciptakan keterbelakangan. Liberalisme dan kapitalisme yang telah bermetamorfosis menjadi imperialisme budaya (pengetahuan) dan kapitalisme multinasional ternyata didikte oleh kebudayaan Barat yang berperilaku seperti kolonial yang hanya melayani kelas-kelas elit yang menguasai aset negara. Sementara di sisi lain mayoritas rakyat tetap tertindas, miskin dan terpinggirkan dari proses-proses sejarah yang menentukan ini. Celakanya, menurut Hassan Hanafi, pengaruh eksternal tersebut memperoleh dukungannya dari kondisi internal umat Islam sendiri. Tendensi keagamaan umat Islam telah terkooptasi kekuasaan yang hanya meletakkan Islam sebagai ritus dan kepercayaan ukhrawi. Tekstualisme dalam penafsiran Kitab Suci secara dramatis telah menjauhkan umat Islam dari kondisi eksistensi realnya, berupa keterbelakangan, kemiskinan dan ketertindasan. Alih-alih bisa membebaskan dari kondisi-kondisi ini, fenomena ritualisme itu telah menjadi topeng yang menyembunyikan dominasi Barat dan kapitalisme nepotis.

Selain kedua hal di atas, bahaya lain juga datang dari Marxisme yang berpretensi mewujudkan keadilan dan menentang kolonialisme ternyata tidak diikuti dengan pembebasan rakyat dan pengembangan khazanah mereka (yakni khazanah agama-agama) sebagai energi untuk mewujudkan tujuan-tujuan kemerdekaan nasional. Sementara nasionalisme revolusioner sendiri yang tampak berhasil membuat perubahan-perubahan radikal dalam sistem politik dan ekonomi ternyata tidak berumur lama. Karena ia berhenti hanya sebatas slogan sehingga tidak mampu mempengaruhi kesadaran mayoritas rakyat (Kazuo Shimogaki, 1993: 91-92).

Akhirnya berlandaskan analisis sosial politik inilah Hassan Hanafi menganggap penting upaya untuk memperkuat jati diri umat Islam, yakni dengan memasuki medan percaturan yang paling mendasar dalam kebudayaan dan kesadaran historis masyarakat. Dan Kiri Islam ditujukan untuk kepentingan ini. Yakni membekali pribadi dan menggugah kesadaran untuk menyongsong kebangkitan rakyat melalui upaya revitalisasi pemikiran keislaman dengan memantapkan posisi rakyat dalam sejarah (Shimogaki, 1993: 140). Proyek Kiri Islam Hassan Hanafi setidaknya meliputi dua aspek penting.

Pertama, merevitalisasi dimensi revolusioner dalam khazanah intelektual Islam klasik. Kedua menantang peradaban Barat yang hegemonik.

Pada aspek pertama, Kiri Islam telah menggali paradigma independen pemikiran keagamaan yang menekankan arti penting gerakan rasionalisme, naturalisme dan kebebasan manusia. Dalam hal ini Hassan Hanafi menilai mu’tazilah telah smewariskan tradisi yang berharga mengenai kebebasan dan tanggung jawab manusia atas perbuataannya, sehingga manusia menyadari perannya untuk selalu berusaha mewujudkan kebaikan melalui perbuatannya yang disertai dengan keyakinan iman. Dalam hal ini kepemimpinan umat islam harus berdasarkan pemilihan demokratis dan amar ma’ruf nahi mungkar adalah kewajiban setiap muslim. Demikian juga sesuai dengan tanggung jawabnya, manusia dituntut teguh untuk merebut hak-haknya dan mengembalikan martabatnya yang dirampas. Kiri Islam juga juga memperhitungkan semangat kaum Syi’ah yang menancapkan harga diri Islam melawan kolonialisme dan westernisme.

Dalam kehidupan sosial dan politik, Kiri Islam menggunakan pendekatan kemaslahatan serta membela kepentingan rakyat dalam penetapan hukum. Ini dianut berdasarkan paradigma fiqh dan usul-fiqh Malikiyah yang berasal dari tradisi Abdullah ibn Mas’ud yang dikembangkan dari Umar ibn Khattab yang membela kemaslahatan umat secara realistis dan mengetahuinya meskipun belum ada petunjuk wahyu hingga datang wahyu yang membenarkan pendapatnya.

Oleh karena itulah dalam menafsirkan teks, Kiri Islam senantiasa menggunakan akal seoptimal mungkin sebagaimana yang dilakukan Hanafiyah dan memadukannya dengan cermin realitas sebagaimana Syafi’iyah, dengan tanpa meninggalkan komitmen pada teks itu sendiri sebagaimana dilakukan Hambaliyah. Ini karena bagi Kiri Islam, teks adalah refleksi atas realitas itu sendiri.

Kiri Islam memperoleh akarnya dari filsafat rasional yang sudah dibangun oleh Al-Kindi dan Ibnu Rusyd, juga pada ilmu-ilmu rasional murni dalam khazanah klasik. Kiri Islam berpretensi untuk mengangkat kembali ilmu-ilmu klasik seperti matematika, fisika, arsitektur, kimia, kedokteran, biologi, farmasi, dan sebagainya dalam pangkuan Islam. Kiri Islam juga berakar pada ilmu-ilmu kemanusiaan yang sudah diletakkan dasarnya oleh pendahulu kita, seperti ilmu bahasa, sastra, geografi, sejarah, psikologi dan sosiologi. Selain itu Kiri Islam juga memiliki akar pada ilmu-ilmu normatif tradisional murni (al-ulum al-naqliyah al-khalizhah), yakni ilmu yang pertama kali berkembang di sekitar wahyu seperti: ilmu-ilmu Qur’an, Hadist, Tafsir dan Fiqh. Beberapa cabang itu bisa dikembangkan secara kontemporer. Misalnya asbab al-nuzuli dalam ilmu-ilmu Qur’an dimaksudkan untuk mengutamakan realitas, ilmu nasikh wa al-mansukh untuk melihat aspek gradualisme dalam penerapan syariah, dan lainnya. Semua ini bisa dikembangkan menjadi ilmu eksperimental, seperti statistik, sosiologi, historiografi, ideologi, sistem politik dan ekonomi.

Kiri Islam juga mengkaji kembali ajaran tentang ibadah yang selama ini menjadi seolah-olah tujuan padahal sesungguhnya sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Menurut Hanafi, orang yang berhenti pada sarana tanpa pernah sampai tujuan maka ia sesungguhnya tak pernah shalat, puasa, haji dan syahadat. Syahadat tidak semata-mata mengucapkan “Asyhadu an-la Ilaha Illa Allah wa asyhadu anna Muhammad Rasul Allah”. Melainkan sebuah persaksian yang aktif, yang dimulai dengan bentuk negatif “la Ilaha” yang bermakna negasi atas kekuatan penindas dan tuhan-tuhan palsu di sekitar kita, baik dalam bentuk uang maupun kekuasan; lalu penetapan “Illa Allah” berarti hanya Allah yang Maha Perkasa (Kazuo Shimogaki, 1993: 95-106).

Demikianlah dengan merevitalisasi seluruh khazanah intelektual klasik ini hendak ditunjukkan bahwa kebangkitan masyarakat Islam akan datang dari dalam, yakni melalui pengembangan dimensi internal umat Islam sendiri.

Adapun aspek kedua dari proyek Kiri Islam adalah melawan hegemoni kebudayaan Barat. Dalam konteks ini tugas Kiri Islam adalah menghadapi ancaman imperialisme ekonomi korporasi multinasional dan imperialisme kebudayaan yang menggerogoti jati diri dan kemandirian umat. Tugas Kiri Islam adalah melokalisir Barat, yakni mengembalikan Barat kepada batas-batas alamiahnya dan menepis mitos bahwa Barat adalah “pusat peradaban dunia” yang berambisi menjadi “paradigma” kemajuan bagi bangsa-bangsa lain.

Dengan penolakan ini berarti bangsa-bangsa non-Barat berusaha melawan dominasi dan hegemoni yang telah merenggut kemerdekaan dan kepribadian bangsa-bangsa lain, sehingga bisa menentukan nasib dan kesejahteraannya sendiri (Kazuo Shimogaki, 1999: 106-108).

 

Penutup

Dari paparan di atas, maka setidaknya dapat disimpulkan dalam catatan penutup ini bahwa teologi pembebasan adalah teori ketuhanan yang berorientasi pada kemanusiaan dan pembebasan kaum tertindas baik secara kultural maupun secara struktural.

Pertama, teologi pembebasan lahir dari pembacaan yang kaya terhadap khazanah pemikiran maupun kebudayaan internal masing-masing agama atau tradisi komunitas tertentu. Dengan menyadari ini kita akan memperoleh kesimpulan bahwa sesungguhnya spirit pembebasan sudah ada dalam pengalaman dalam tiap-tiap agama dan kebudayaan, termasuk dalam agama Islam. Kedua, semangat pembebasan hanya mungkin manifes jika perumusan teologi diorientasikan pada solidaritas dan pembebasan terhadap umat manusia yang lemah. Oleh karena itu dibutuhkan kehendak, kesadaran diri, kebebasan dan tanggung jawab setiap individu untuk bersama-sama melakukan transformasi sosial menuju kehidupan yang lebih adil, setara dan manusiawi.

Inilah makna teologi pembebasan dalam masyarakat Islam. Praktek ritual adalah penting namun ia memerlukan indikator sosial. Indikator material ibadah yang diterima Tuhan adalah keberhasilannya menegakkan kebenaran dan keadilan (QS. Al Maidah; 8). Sedangkan indikator sosial ibadah yang tidak diterima adalah membiarkan ketidakadilan, kemiskinan, dan ketertindasan di sekitar kita. (QS. Al Maa’un).

Akhirnya, hadirnya teologi pembebasan dalam agama-agama sesungguhnya adalah cermin bagi diri umat beragama untuk selalu terbuka terhadap pengetahuan dan realitas alam yang diwahyukan Tuhan. Karena realitas inilah yang ikut memperkaya wawasan kita tentang iman dan cara berteologi yang relevan dengan konteks zaman. []

Luce Irigaray, dan Basis Emansipasi Perempuan

“And all the egalitarian slogans keep pushing us further back.

In my opinion, all those slogans simply promote a totalitarian ideology”,

Luce Irigaray

 

Pengantar

Luce Irigaray (1932-…) adalah seorang feminis Perancis yang unik. Dia termasuk pembawa gerakan feminisme generasi kedua yang tidak sekadar mempertanyakan ketidaksetaraan sosial yang dialami keum perempuan, melainkan mengamati struktur ideologis yang sudah tertanam lama dan membuat perempuan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dibandingkan laki-laki.

Keunikan yang segera tampak setelah membaca karyanya adalah bahwa baginya yang esensial dalam perjuangan pembebasan perempuan bukanlah menuntut kesetaraan, melainkan dengan membangun budaya perempuan-lelaki yang menghargai perbedaan antara kedua jenis kelamin. Dan oleh karenanya untuk mencapai cita-citanya itu, Irigaray menegaskan bahwa emansipasi perempuan hanya bisa diwujudkan dengan suatu “teori tentang gender yang berlandaskan jenis kelamin dan penulisan kembali kewajiban dan hak setiap jenis kelamin, sebagai dua unsur yang berbeda dalam kewajiban dan hak sosial”. Dengan ini dia bermaksud menawarkan suatu upaya untuk membangun budaya perempuan-lelaki yang menghargai perbedaan antara kedua jenis kelamin.

Irigaray adalah ahli linguistik, sekaligus seorang filsuf. Ia dengan gemilang juga memanfaatkan capaian-capaian psikoanalisis dalam kajian filsafat dan pengandaian-pengadaian teoritiknya, terutama guna menyingkap sistem-sistem patriarkal yang membelenggu dan membungkam suara kaum perempuan.

Dalam tulisan ini, saya hendak menguraikan beberapa bagian dari gagasan Irigaray terutama kritiknya pada dasar-dasar sistem patriarkal. Lalu dilanjutkan dengan usaha besar Irigaray untuk mengembalikan identitas dan subjektifitas perempuan,dan bagian berikutnya akan ditunjukkan kritik dan kesimpulan.

 

Membongkar Budaya Patriarki

Dalam karyanya Speculum of the Other Woman, Irigaray berusaha mengembangkan tulisan yang khas feminis yang menyerang mitos dan hegemoni pemikiran kaum lelaki yang hadir dalam tradisi filosofis Barat dan disiplin kajian psikoanalisis, yang telah berperan besar terhadap pembungkaman suara kaum perempuan.

Luce Irigaray mengritik rasio pencerahan. Menurutnya rasionalitas pencerahan tidak berlaku bagi perempuan karena ia meremehkan elemen-elemen non-rasional dalam pikiran manusia, demikian juga kehendaknya untuk berkuasa, mengontrol, memanipulasi dan menghancurkan atas nama yang rasional itu. Cara berpikir Pencerahan bersifat khas laki-laki. Kritik terhadap rasionalitas yang bersifat laki-laki ini, bagi Irigaray, sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengunggulkan irasionalitas perempuan. Melainkan semata hendak menunjukkan bahwa rasionalitas itu memiliki struktur tertentu, yakni prinsip identitas, prinsip nonkontradiksi (A adalah A, A bukan B) yang menyingkirkan ambiguitas dan ambivalensi, dan binerisme (oposisi alam/rasio, subjek/objek)

Jika rasio pencerahan mendapat kritik yang mendasar, Irigaray lebih jauh berusaha membongkar dasar hegemoni patriarki yang terbangun dalam tradisi budaya Barat beserta mitos-mitos yang berdiri di belakangnya. Untuk tujuan ini Irigaray berhutang budi pada konsep seksualitas Freud yang menyatakan bahwa dorongan seksualitaslah yang mempengaruhi kehidupan intelektual dan kultural manusia.

Teori dasar Freud mengenai perempuan setidaknya tergambar dalam konsep katrasi atau pengebirian. Menurut Freud, bagian terpenting dari perkembangan seksual lelaki dan perempuan adalah ada tidaknya penis pada mereka. Kaum perempuan merasa sebagai manusia yang tidak lengkap dan selalu merasa kurang karena tidak memiliki penis, oleh sebab itu merasa dikebiri. Dan oleh karena itu pula mereka selalu merasa inferior. Bagi kaum Freudian status nomor dua yang ditujukan kepada kaum perempuan tidak bisa dihindari karena perempuan kekurangan organ penis yang menyimbolkan kesuperioritasan dan keotoritasan.

Selain melalui Freud, Irigaray juga memanfaatkan gagasan Lacan untuk mengritik, melawan dan mengajukan penjelasan psikoanalisis pada bias teoritis dalam kajian psikoanalisis. Berdasarkan konsep Lacan tentang Yang Real, Yang Simbolik, dan Yang Imajiner, Irigaray menganalisis bahwa tatanan simbolik Lacan, yakni kondisi bahasa, pada dasarnya bersifat maskulin dan patriarkal: yakni bahwa tatanan ini hanya mengartikulasikan pemikiran imajiner kaum lelaki dan, tatanan tersusun menurut hukum dan tatanan simbolik yang bersifat merangkum dan mendasarinya. Sehingga apapun yang berada di luar tatanan simbolik itu harus diterjemahkan agar sesuai dengan tatanan bahasa itu. Dalam konteks ini, karena tatanan simbolik sepenuhnya falik, maka ruang artikulasi bahasa perempuan menjadi teredam, dan tidak ada pilihan bagi perempuan kecuali berbicara dan berkomunikasi kecuali dengan cara menyesuaikan diri dengan bahasa patriarkal.

Melalui psikoanalisis Freud dan Lacan inilah Irigaray tampaknya disadarkan bahwa konsep-konsep yang dibangun psikoanalisis, dan juga filsafat, telah dibangun oleh tokoh-tokohnya dengan bahasa dan cara pandangan kaum lelaki, dan karenanya sepenuhnya berbias maskulin. Lebih jauh Irigaray dalam satu gebrakan sesungguhnya juga mengkritik kategori-kategori Marxis dan sekaligus menegaskan bahwa keterpinggiran perempuan tidak semata-mata akibat dari hubungan produksi dalam ekonomi, melainkan juga disebabkan oleh keterpinggiran dalam tatanan dan hubungan-hubungan simbolik. Justeru melalui tatanan simbolik dan bahasa yang sepenuhnya phallocratic inilah, drama tentang kepenuhan yang maskulin dan kekurangan yang feminin ini beroperasi.

Irigaray menulis,

“Perbedaan seksual bukan sekadar data alami, ekstra bahasa. Perbedaan itu mempengaruhi bahasa dan bahasa mempengaruhnya….. perbedaan itu terletak di pertemuan alam dan kebudayaan. Namun peradaban patriarkal menurunkan nilai feminin sedemikian rupa sehingga realitas dan deskripsinya tentang dunia keliru. Maka alih-alih tetap merupakan gender yang berbeda, dalam bahasa kita feminin menjadi bukan-maskulin, artinya suatu realitas abstrak yang tidak hadir.”

Pandangan dunia Barat yang phallocratic dan monoseksual telah mendefinisikan status perempuan sebagai laki-laki yang tidak utuh, sebagai yang “bukan maskulin”. Dampaknya adalah sarana komunikasi sosial juga didominasi oleh bahasa falik. Dan dalam sistem patriarki sesungguhnya perempuan mengalami keterbungkaman oleh suatu bahasa falik yang cenderung merendahkan dan meletakkan perempuan sebagai objek dalam hubungannya dengan subjek maskulin. Dan pada akhirnya struktur bahasa yang falik, menurut Irigaray, berperan besar menenggelamkan eksistensi dan identitas perempuan.

Sebagai seorang ahli lingustik, Irigaray membuat kajian mendalam terhadap bahasa dan ia menggarisbawahi bahwa kebudayaan patriarkal terwujud pada sistem batin bahasa.

Menurut Irigaray, adanya perbedaan gender gramatikal bukan tanpa alasan dan semena-mena, melainkan memiliki alasan semantik. Dan pemisahan pemaknaannya pun berkaitan dengan pengalaman inderawi dan kebertubuhan, dan bahwa pemisahan itu berubah sesuai dengan waktu dan tempat. Perbedaan seksual, misalnya, menentukan sistem pronomina, ajektiva posesif, juga gender kata dan pengelompokannya dalam kategori gramatikal: hidup/tak hidup, konkrit/abstrak, maskulin/feminin, dan seterusnya. Lebih lanjut dalam konteks budaya patriarki, kaum lelaki selalu berusaha mempertahankan kekuasaannya dengan cara merepresentasikan segala sesuatu yang bernilai sesuai dengan citra dan gender gramatikalnya sebagai maskulin. Ini terlihat dari pengelompokan kata bergender bahwa apa yang bernilai adalah maskulin, sedangkan yang tidak bernilai adalah feminin. Demikian juga pada matahari dilektkan gender maskulin, bulan bergender feminin; langit adalah laki-laki, sedangkan bumi adalah saudara perempuannya.

Membangun Budaya Baru

“Pokoknya kebutuhan kita pertama-tama atau yang harus dipenuhi adalah hak memiliki harkat manusiawi bagi semua orang. Itu berarti sebuah hak yang mengunggulkan perbedaan… Suatu keadilan sosial, khususnya keadilan seksual hanya dapat diwujudkan jika ada perubahan kaidah bahasa dan konsepsi mengenai kebenaran serta nilai-nilai yang mengatur tatatanan masyarakat.”

 

1. Transformasi Bahasa

Dalam tradisi Barat kondisi feminin masyarakat diredam dan disingkirkan. Kaum perempuan tidak memiliki sarana-sarana simbolik yang memungkinkan mereka mengembangkan suatu bentuk komunikasi dan cara wicara yang bisa membentuk identitas dan subjektifitas mereka. Oleh karena itu untuk keluar dari penjara bahasa patriarki, menurut Irigaray kaum perempuan memerlukan sarana simboliknya sendiri, yakni rumah bahasa yang memungkinkan mereka tumbuh dan berkembang. Irigaray secara tegas menyatakan bahwa “keniscayaan kebahasaan menentukan gerakan pembebasan”.

Irigaray menegaskan bahwa pembebasan berbasis gender mustahil bisa dilakukan tanpa tanpa perubahan kaidah bahasa yang berkaitan dengan gender gramatikal. Mengapa? Karena bahasa adalah alat untuk memproduksi makna. Bahasa juga berperan membangun bentuk-bentuk mediasi sosial dari hubungan interpersonal hingga dalam relasi-relasi politik. Sehingga ketika hegemoni dan penghapusan subjek dan identitas perempuan berlangsung dan bekerja pada ranah simbolik, maka pembebasan perempuan melalui transformasi bahasa menjadi keniscayaan utama.

Pembebasan subjek perempuan ini harus dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa strategi, yakni kaidah bahasa baru tersebut diciptakan berdasarkan prinsip perbedaan seksual. Bagi Irigaray hal ini sangat penting karena bahasa sesungguhnya adalah alat bertukar dan berkomunikasi antar dua pihak yang hidup di dunia dengan perbedaan jenis kelamin. Dan kaidah bahasa baru ini pertama-tama diharapkan mampu menyeimbangkan hubungan di antara dua jenis kelamin baik dalam bahasa itu sendiri maupun dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan, sehingga pada akhirnya kaum perempuan mampu menemukan dirinya kembali sebagai subjek.

 

2. Etika Perbedaan Seksual

Selain strategi linguistik tersebut di atas, Irigaray menekankan pentingnya perbedaan seksual sebagai landasan etis dalam membangun relasi antara laki-laki dan perempuan. Tujuan Irigaray ini tidak lain adalah usaha membangun countersystem yang bersifat khas feminin untuk membuka ruang bangkitnya identitas seksual yang positif bagi perempuan sekaligus membangun relasi subjektif “To Be Two” antara lelaki dan perempuan. Untuk tujuan ini ia memberikan latar argumentasi politis dan juga filosofis, bahkan argumentasi biologis dan pragmatis.

Berbeda dengan gerakan feminis pertama, Irigaray mengajukan konsep perbedaan seksual sebagai basis pembebasan perempuan disebabkan kenyataan realitas konkrit keterpinggiran kaum perempuan, bukan hanya akibat dominasi bahasa patriarkis melainkan juga oleh berbagai slogan yang mengatasnamakan kesetaraan lelaki-perempuan dan slogan kenetralan dalam klausul berbagai konvensi dan perundang-undangan. Menurutnya, slogan-slogan kesetaraan itu sudah menjadi candu masyarakat dan suguhan ilusi bagi kemajuan.

Irigaray menulis,

“And all the egalitarian slogans keep pushing us further back. In my opinion, all those slogans simply promote a totalitarian ideology”

Di dalam kata pengantar edisi Perancis untuk bukunya Thinking the Difference for a Peaceful Revolution, Irigaray nyata-nyata menelanjangi Deklarasi HAM PBB dimana klausul-klausul yang ada di dalamnya dianggapnya telah mengingkari realitas keseharian kaum perempuan. Bukan hanya itu, menurutnya Deklarasi HAM bukanlah poin-poin normatif yang bersifat netral secara ideologis, melainkan sepenuhnya didefinisikan oleh kepentingan kaum lelaki.

Oleh karena itu untuk mempertahankan kepentingan dan melindungi diri dari manipulasi ideologi kesetaraan semacam itu, Irigaray secara politis menekankan pentingnya perbedaan seksual untuk memproteksi identitas kemanusian kedua jenis kelamin itu. Dan atas dasar itu, menurut Irigaray, hak-hak kaum perempuan harus didefinisikan kembali sehingga ia memperoleh hak yang sesuai dengan identitasnya sebagai perempuan. Dengan mendefinisikan hak-hak yang sesuai dengan dua jenis kelamin itu artinya kaum perempuan berupaya menggantikan susunan hak-hak abstrak yang mengandaikan individu-individu yang netral yang sama sebagaimana tertera dalam Deklarasi HAM Internasional. Di antara hak-hak konkrit yang mendukung identitas perempuan dimaksud, misalnya: hak untuk terhindar dari kekerasan fisik dan moral (hak tentang keperawanan dan kesucian pikiran), hak menjadi ibu yang bebas dari pengawasan sipil dan agama, hak terhadap kebudayaan perempuan yang spesifik, dan seterusnya.

Selain upaya politis merumuskan nilai-nilai baru yang mempertimbangkan perbedaan seksual lelaki-perempuan, Irigaray secara fenomenologis juga menawarkan pola relasi baru yang khas feminin antara lelaki dan perempuan. Yakni suatu pola relasi intersubjektif yang menghargai perbedaan jenis kelamin, yang memungkinkan tidak adanya saling mengobjekkan atau saling mendaku antara diri (the self) dan yang lain (the other).

Pola relasi ini dirumuskan Irigaray saat membahas teks dari buku Maurice Merleau-Ponty Phenomenology of Perception tentang “tubuh seksual”. Irigaray mengritik fenomenologi Ponty sebagai fenomenologi pesimistik, karena menurut Ponty, melalui kebertubuhan pola relasi diri dan yang lain (the other) adalah dialektika subjek-objek. Terhadap orang yang lain, saya menjadi subjek bagi diri sendiri dan sekaligus menjadi objek bagi orang lain. Irigaray juga menilai Ponty melupakan fungsi seksualitas sebagai suatu hubungan-dengan (a relationship-to), sekaligus mengabaikan persepsi sebagai sarana untuk menyambut yang lain sebagai yang lain (other).

Padahal melalui persepsi, dan bukan melalui sensasi, menurut Irigaray kita bisa melihat, mengenal dan lebih menghormatinya orang lain sebagai subjek, tanpa harus mengurangi nilai diri kita sebagai subjek. Demikian juga dalam relasi kebertubuhan, kita sama sekali bukanlah sosok subjek yang mencari objek dalam diri orang lain. Melainkan kita menyadari adanya relasi dialektik subjektifitas dan objektifitas itu dalam dan bagi diri kita, demikian juga bagi orang lain, tanpa suatu dikotomi subjek-objek. Dalam hubungan ini subjektif ini, masing-masing diri kita saling merawat dan menumbuhkan kejatidirian masing-masing.

Melalui fenomenologi, Irigaray melukiskan etika relasi perbedaan diri dan yang lain (the other) itu sebagai berikut:

Thanks to perception, we can each become, the one for the other, a bridge towards a becoming which is yours, mine, and ours. I can be a bridge for you, as you can be one for me…. I perceive You, I create an idea of you, I preserve you in my memory – in affect, in thought—in order to assist you in your becoming.

Apa yang menarik dari argumentasi politis maupun filosofis yang khas feminin mengenai pentingnya basis perbedaan seksual lelaki-perempuan bagi pembebasan perempuan dalam relasi sosial dan simbolik ini adalah bahwa Irigaray juga menyuguhkan argumentasi yang bersifat biologis sebagai modal argumentasi. Dalam hal ini kajian Irigaray mengenai peran organ plasenta saat kehamilan ibu adalah contoh menarik.

Dalam wawancaranya dengan Helene Rouch, seorang guru biologi di sekolah Colbert, Paris, , Irigaray memperoleh insight berharga mengenai keterbukaan relasi yang ditunjukkan antara janin dan plasenta. Rouch menjelaskan, plasenta adalah jaringan yang terbentuk oleh embrio tetapi ia tetap merupakan entitas yang terpisah dan tidak tergantung pada embrio itu. Uniknya plasenta ini memainkan peran mediator pada dua level. Di satu pihak ia menghubungkan antara ibu dan janin, dan dipihak lain ia membentuk sebuah sistem yang mengatur pertukaran (baik berbentuk nutrisi dari ibu ke janin maupun berupa kotoran ke arah sebaliknya) diantara kedua organisme (ibu dan janin). Sehingga dalam hubungan yang kompleks ini, janin berkembang tanpa melemahkan ibu, dan tidak sekadar memasok nutrisi.

Dari penjelasan Helene Rouch ini, Irigaray mengambil titik kesimpulan penting. Plasenta adalah asal usul biologis dari relasi berbasis perbedaan dan penghormatan pada perbedaan. Ini artinya, tubuh perempuan memiliki keunikan yang tidak dimiliki oleh kebudayan (maksudnya: patriarki), berupa mekanisme toleransi terhadap perkembangan tubuh lain dalam dirinya tanpa menjadi penyakit, tanpa penolakan maupun kematian salah satu dari organisme hidup.

Irigaray menegaskan,

“Budaya antarlelaki bergerak terbalik. Artinya, menata diri dengan menyingkirkan dari masyarakatnya sumbangan dari jenis kelamin yang lain. Ketika tubuh perempuan memberi keturunan dengan menghormati perbedaan, kelompok masyarakat patriarkal dibangun secara hierarkis dengan menyingkirkan perbedaan.”

Selain penjelasan biologis di atas, Irigaray juga mengajukan argumen pragmatis. Identitas gender yang dibangun berdasarkan perbedaan jenis kelamin perlu agar spesies manusia lestari, bukan hanya untuk reproduksi melainkan juga untuk kebudayaan dan regenerasi kehidupan.

 

Catatan Akhir

Gagasan-gagasan Irigaray sebagaimana yang saya tampilkan dalam tulisan ini sangatlah istimewa. Melalui kajian filsafat dan psikoanalisisnya terhadap sejarah dan kesadaran manusia, ia berhasil membongkar sistem patriarki yang tersedimentasi dalam bahasa, masyarakat, dan kebudayaan yang meminggirkan posisi, peran, subjektifitas dan identitas kaum perempuan.

Namun Irigaray sesungguhnya tidak terpaku sampai di situ. Ia juga berusaha mencari jalan keluar agar kaum perempuan menemukan kembali identitas dan subjektivitasnya yang teredam melalui berbagai strategi. Irigaray menawarkan nilai-nilai baru yang digali dari pengalaman tubuh dan kebertubuhan perempuan, seperti: peran plasenta saat kehamilan perempuan, juga dari mitos-mitos sejarah dan simbol-simbol yang bisa mengembalikan subjektifitas perempuan, seperti: bunda Maria yang digendong ibunya, dan juga strategi untuk memutasi kaidah-kaidah bahasa, sistem budaya dan masyarakat.

Bagi Irigaray, karena peminggiran perempuan terjadi karena perbedaan jenis kelamin, maka pembebasannya pun haruslah bertolak dari pembedaan jenis kelamin. Oleh karena itulah, slogan kesetaraan lelaki-perempuan seperti yang disuarakan oleh sebagian kaum feminis harus ditolak sebab bunyi-bunyian itu utopia belaka. Tuntutan itu seperti mimpi saja di siang bolong, bahkan malahan saja tuntutan semacam itu bisa melanggengkan konstruksi sosial dan budaya patriarkal yang sudah terlanjur mendominasi dan menggelamkan identitas dan subjektifitas perempuan.

Namun dari sini untuk sebagian titik tolak perbedaan jenis kelamin ini melahirkan pertanyaan. Seolah-olah Irigaray memandang perbedaan laki-laki dan perempuan itu sebagai realitas yang homogen: lelaki mesti lelaki dan perempuan mestilah perempuan. Sebagaimana juga disinggung John Lechte dan Madan Sarup, secara politis hal ini menimbulkan sikap bahwa seorang laki-laki tidak bisa menjadi feminis. Mustahil ada lelaki feminis! Karena menurut Irigaray, kefemininan seorang lelaki adalah usaha penjajahan kesekian kalinya yang akan mengeluarkan perempuan dari ruang kulturalnya.

Masalah inilah rupanya yang akan menjadi perbincangan hangat dalam untaian gagasan Irigaray. Ia begitu menekankan peran perempuan-sebagai-subjek, sehingga menjadi cara, kalau bukan satu-satunya cara, untuk keluar dari penjara patriarki. Dalam konteks inilah maka rasanya wajar bila perjuangan perempuan hanya mungkin apabila diupayakan oleh kaum perempuan sendiri dengan terlibat langsung dalam proses rekayasa kultural dan politik, demi menghindari bias-bias ideologis yang mungkin dalam proses itu. []

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Jameson, Posmodernisme, dan Logika Kapitalisme Lanjut

Pengantar

Pada awal tahun 1960-an, jagad sosial-budaya disemarakkan oleh munculnya perkembangan baru baik dalam dunia kebudayaan maupun dunia pemikiran sosial dan filsafat. Munculnya berbagai mode berpikir dan cara melihat realitas secara baru ini pada umumnya dipengaruhi oleh berbagai kritik kultural maupun politis terhadap krisis kondisi modernitas yang telah melahirkan kecemasan, keterasingan, imperialisme, pembantaian (holocaust) dan perang.

Sejak kelahirannya mode berpikir baru ini terus berkembang dan menjadi perbincangan serius di kalangan filsuf, budayawan, ilmuwan sosial, dan para politikus, baik dalam cara pandang maupun dalam sisi validitas konseptualnya. Hingga kini perdebatan ini telah melibatkan banyak khalayak dan telah memproduksi ratusan literatur di segala bidang di bawah sebuah tema besar yang masih terus diperdebatkan yang kini disebut dengan: posmodernisme. Mereka yang terlibat dalam perbincangan fenomena baru ini di antaranya adalah Theodor Adorno, Max Horkheimer, Jurgen Habermas, Jean-Francois Lyotard, Richard Rorty, Jacques Lacan, Gilles Deleuze, Felix Guattari, Michel Foucault, Derrida, dan masih banyak lagi, termasuk pemikir sosial yang hendak dikupas dalam tulisan ini, yakni: Fredric Jameson.

Berbeda dengan para pemikir lainnya, Jameson memiliki mode berpikir yang tidak kalah unik dan khas dalam wacana posmodernisme. Analisisnya menunjukkan suatu upaya besar untuk merevitalisasi Marxisme dengan cara membangun sintesis antara wacana posmodernisme dan Marxisme. Jameson melihat posmodernisme sebagai totalitas sosial, budaya, ekonomi, politik dan sejarah yang menandai gejala-gejala sosial mutakhir sejak 1950-an seiring dengan munculnya struktur masyarakat baru yang disebut dalam berbagai perbincangan akademis sebagai “masyarakat pos-industrial” (Daniel Bell), atau “masyarakat konsumer”, “masyarakat media”, “masyarakat informasi”, “masyarakat elektronik”, dan lainnya.

Bagi Jameson semua teori tersebut sebenarnya hendak melukiskan sebuah formasi sosial baru yang berbeda dengan struktur sosial kapitalisme lama. Yakni suatu formasi sosial-budaya yang lebih merupakan produk logika budaya kapitalisme multinasional.

Dalam tulisan ini, saya mencoba mengeksplorasi upaya-upaya Jameson membongkar dominasi kapitalisme multinasional dan sekaligus mengetengahkan strategi perlawanan terhadap gejala-gejala ini. Paparan ini saya maksudkan agar kita memiliki perspektif yang lebih luas dan cara baca yang kaya dan mendalam terhadap fenomena ekstasi budaya di sekitar kita.

Sekilas Fredrich Jameson

Fredrich Jameson adalah seorang kritikus budaya paling penting dalam tradisi berbahasa Inggris sekarang ini, dan dikenal sebagai penyokong utama tradisi teori kritis Marxisme Barat. Ia dikenal juga sebagai seorang teoritisi politik Marxis, sekaligus seorang kritikus sastra.

Jameson lahir di Cleveland, Ohio, pada tahun 1934. Setelah kuliah di Haverford College pada tahun 1954, ia bepergian ke Eropa dan mampir di Aix-en Provence, Munich dan Berlin, untuk belajar perkembangan baru filsafat kontinental termasuk strukturalisme. Berselang kemudian dia pindah Amerika dan mengambil studi doktoral di Yale pada tahun 1960 dan menggarap disertasinya dengan judul Sartre: the Origins of a Style, di bawah bimbingan Erich Auerbach, seorang ahli filologi Jerman yang juga pernah menulis sejarah style, yang lalu sangat berpengaruh pada Jameson.

Jean-Paul Sartre, tokoh eksistensialis Perancis ini sendiri adalah figur yang sangat berpengaruh pada tahap awal perkembangan filsafat dan politis Jameson, di samping pengaruh dari dua peristiwa yang saling terkait, yakni berakhirnya McCarthyisme dan munculnya gerakan Kiri Baru (New Left). Pada saat menyelesaikan tesis doktoralnya, Jameson sendiri adalah bagian dari gerakan yang menentang aliran Kritisisisme Baru yang mendominasi Amerika waktu itu. Dan pilihannya terhadap figur Sartre bukan sekadar ingin mempelajari fenomenologi eksistensial, melainkan juga memiliki intensi politik. Bagi Jameson, Sartre merupakan teladan bagi sosok intelektual yang melambangkan intellectual engage dalam politik, yang “bagi keseluruhan generasi intelektual Perancis, dan bahkan bagi para intelektual Eropa, khususnya kaum muda Kiri di Inggris, juga di Amerika seperti saya sendiri, Sartre mewakili contoh intelektual politik, satu dari beberapa model penting yang kita miliki, bahkan seorang model yang serba mencukupi” (Sean Homer, 1998).

Pencarian Sartre terhadap formasi Marxisme yang relevan secara teoritis maupun secara politis bagi Perancis kontemporer dan terpisah dari dogmatisme Partai komunis dan Uni Soviet, berpengaruh sangat kuat pada pandangan Marxisme Jameson. Dan bagi Jameson sendiri Marxisme bukanlah sebuah sistem yang kaku, melainkan suatu wacana yang tersituasikan, pemikiran yang terbuka dan fleksibel yang berkembang sesuai dengan lingkungan historis yang spesifik. Oleh karena itu tugas kaum Kiri adalah membangun bentuk Marxisme yang mungkin sesuai dengan kebutuhan masyarakat Amerika kontemporer dan sesuai dengan ‘masalah-masalah khas yang lahir dari monopoli kapitalisme di Barat’ (Sean Homer, 1998: 9).

Dalam perjalanan karir intelektualnya, Jameson menulis banyak buku. Selain buku disertasinya di atas ia menulis Marxism and Form (1971), The Prison-House of Language (1972), The Political Unconscious (1981), Late Marxisme (!990), Signatures of the Visible (1990), Postmodernism or, The Cultural Logic of Late Capitalism (1991), The Geopolitical Aesthetic (1992), The Seeds of Time (1994) dan the Cultural Turn (1998).

Bukunya Postmodernism or, The Cultural Logic of Late Capitalism (1991) yang akan menjadi fokus kajian tulisan ini sesungguhnya adalah perluasan dari eseinya dengan judul yang sama dalam jurnal New Left Review yang terbit pada 1984. Karya ini adalah yang paling berpengaruh dan sistematis yang memformulasikan wacana posmodernisme dalam kebudayaan, dengan tesis utama bahwa gejala posmodernitas merupakan logika budaya kapitalisme lanjut.

Fenomen Populisme Estetis

Gejala posmodernisme sebagai fenomena kebudayaan mulai menampakkan wajahnya yang khas kira-kira sejak akhir 1950-an dan awal 1960-an. Di masa-masa ini rupanya dunia telah berkembang sedemikian jauh melampaui masa-masa sebelumnya yang ditandai dengan berbagai perubahan radikal baik dalam lapangan kemasyarakatan, kesenian, kebudayaan, kesusasteraan, dan dunia arsitektural (Fredric Jameson, 1999: 1-3). Dalam bidang kesenian, misalnya. Muncul penolakan estetis dan ideologis terhadap gerakan seni modern, seperti: penolakan terhadap ekspresionisme abstrak dalam lukisan. Dalam kesusasteraan, muncul penolakan atas keyakinan adanya representasi final dalam novel dan juga atas aliran puisi modernis sebagaimana yang dikanonisasikan dalam karya Wallace Stevens. Sementara itu dalam pemikiran dan filsafat muncul penolakan atau kritik terhadap eksistensialisme, dan juga ditandai oleh lahirnya sejumlah mode pemikiran yang menyebut gejala-gejala “krisis” atau “kematian”, seperti “kematian ideologi”, “kematian seni”, “kematian kelas sosial”, atau “krisis Leninisme”, “krisis demokrasi sosial”, “krisis negara kesejahteraan” dan seterusnya.

Bersamaan dengan padamnya corak gerakan budaya modern tersebut, lalu muncul bentuk-bentuk ekspresi wajah budaya baru yang coraknya tampak lebih heterogen, empiris dan chaotic. Misalnya dalam seni populer, terdapat photorealisme; dalam musik ada sintesis style-style klasik dan populer seperti dalam karya-karya Phil Glass dan Terry Riley; ada budaya punk; ada gelombang baru musik rok, seperti the Beatles dan the Stones; sementara dalam film ada sinema dan video eksperimental dan juga tipe baru film-film komersial lainnya.

Selain itu ada juga gejala lain yang menunjukkan perubahan yang sangat jelas dan dramatis, yakni dalam dunia arsitektur. Bahkan bagi Jameson, perubahan dalam dunia arsitekturlah awal munculnya perdebatan seputar konsepsi posmodernisme ini. Jameson membedakan apa yang disebut dengan bentuk arsitektur modernisme tinggi (high modernisme) dan arsitektur posmodernisme. Menurut Jameson, gaya arsitektural modernisme tinggi telah merusak karya cipta model kota-kota tradisional dan kultur lingkungan lama dan menggantinya dengan model bangunan tinggi dan menjulang yang secara sosial berkesan angkuh, elitis, terpisah dengan konteks lingkungan sekitarnya, dan tampak otoritarian. Sementara posisi arsitektur posmodern mengritik model semacam ini. Estetika posmodern bersifat lebih populis karena hilangnya batas-batas antara budaya tinggi (high culture) dan budaya massa (mass/popular culture). Populisme ini bukan hanya tampak dalam estetika arsitektural, melainkan juga dalam bentuk budaya massa atau barang budaya komersial yang diproduksi secara massal dalam suatu industri budaya dan dikonsumsi oleh semua lapisan masyarakat.

Singkatnya, posmodernisme pada umumnya ditandai oleh sebuah gejala baru yang disebut dengan “populisme estetis”, yang memungkinkan munculnya berbagai artefak budaya yang bisa dikonsumsi secara massal.

Posmodernisme sebagai Dominan Budaya Kapitalisme Lanjut

Mulai dari pengamatan terhadap gejala budaya baru ini, Jameson rupanya secara cerdik berusaha membangun proyek intelektualnya. Menurutnya, gejala dominasi budaya dalam posmodernisme bukan sekedar fenomena perubahan style atau fashion belaka, melainkan juga fenomena sejarah. Dengan pernyataan ini sesungguhnya Jameson hendak mengungkapkan hubungan antara estetika atau transformasi sosial simbolik dalam ruang kebudayaan dengan transformasi historis mode produksi kapitalis. Dengan merujuk karya Ernst Mandel Late Capitalism (1972), Jameson menghubungkan tahap-tahap realisme, modernisme dan posmodernisme dalam momen estetis dengan tiga tahap fundamental dalam kapitalisme, yakni: tahap kapitalisme pasar klasik, kapitalisme monopoli (imperialisme) dan kapitalisme multinasional (late capitalism).

Ernst Mandel menguraikan tiga lompatan fundamental dalam evolusi teknologi mesin di bawah kendali modal. Pertama, produksi mesin dengan mesin uap tahun 1848; kedua, produksi mesin dengan mesin elektrik dan sistem pembakaran sejak tahun 1890; dan ketiga produksi mesin dengan mesin elektronik dan aparatus tenaga nuklir sejak tahun 1940-an. Periodesasi ini sekaligus menggarisbawahi tiga momen fundamental dalam kapitalisme: kapitalisme pasar, kapitalisme monopoli (imperialisme) dan kapitalisme multinasional. Menurut Mandel, kapitalisme multinasional merepresentasikan kapitalisme yang paling murni dari yang pernah ada karena telah melakukan ekspansi besar-besaran ke wilayah yang sebelumnya tidak dijadikan komoditas, seperti: penetrasi dan kolonisasi terhadap alam, kolonisasi wilayah estetika dan ketidaksadaran (unconciousness), yakni berupa penghancuran sistem pertanian prakapitalis dan kelahiran industri media dan iklan (Madan Sarup, 2003: 323-4). Mengikuti alur tahapan perubahan momen kapitalisme tersebut, Jameson lalu mengajukan sebuah analisis yang menyejajarkan posmodernisme dengan ekspansi komoditas budaya secara besar-besaran dalam tahap kapitalisme multinasional (late capitalism). Ia tampaknya masih mengikuti konsep basis-superstruktur Marx bahwa perubahan struktur ekonomis juga tercermin dalam perubahan kebudayaan meski hubungan ini sangat komplek.

Bagi Jameson, dalam era kapitalisme multinasional telah terjadi ledakan kebudayaan yang sangat luar biasa di segala aspek kehidupan yang ia sebut sebagai “dominan budaya” (cultural dominant). Di dalam cara mengada dunia seperti ini, konsep modern mengenai pembagian dan otonomi kerja dalam ruang-ruang sosial (ruang ekonomi, budaya, politik) telah runtuh: ruang budaya menjadi ruang ekonomi, sedangkan ruang ekonomi dan politik berubah menjadi bentuk-bentuk kebudayaan. Segala batasan-batasan produksi budaya era sebelumnya (modernisme) diterabas, tidak ada lagi kanonisasi atau institusionalisasi akademis modernis terhadap produk kebudayaan. Dalam pandangan Jameson, dominan budaya dalam era posmodern ini terjadi karena hampir semua “produksi estetis telah terintegrasi menjadi produksi komoditas” (Jameson, 1999: 4).

Kepentingan ekonomi kaum kapitalis memaksa produsen untuk menghasilkan barang-barang yang selalu baru dan mendorong mereka untuk berinovasi dan terus bereksperimentasi menciptakan barang-barang yang baru. Era yang juga disebut posmodernisme ini ditandai oleh komodifikasi besar-besaran di hampir seluruh ruang kehidupan, baik terhadap alam fisik maupun terhadap tubuh manusia sendiri. Dengan kata lain, dominan budaya posmodernisme secara struktural adalah representasi kultural dan ideologis kapitalisme lanjut (late capitalism/multinasional capitalism) dan secara sosial diterima sebagai budaya konsumerisme.

Mengenai istilah “late capitalism” serta situasi dan kondisi di dalamnya, Jameson memberikan catatan yang menarik. Istilah itu berasal dari Madzhab Frankfurt, diantaranya Theodor Adorno, Max Horkheimer, dll. dan menunjuk pada bentuk kapitalisme yang datang dalam periode modern dan kini sedang mendominasi era posmodernisme. Jika late capitalism versi Madzhab Frankfurt ditandai dengan dua ciri esensial: jaringan kontrol birokrasi dan interpenetrasi kapitalisme negara, maka Jameson menambahkan versi late capitalisme tersebut dengan elemen-elemen baru posmodernisme, yakni:

Pertama, munculnya formasi-formasi baru organisasi bisnis yang bersifat multinasional dan transnasional yang melampaui tahap kapitalisme monopoli ala Lenin, yakni melampaui batas-batas nasional (Jameson, 1999: xviii-xix).

Kedua, internasionalisasi bisnis melampau model imperial lama. Dalam tata dunia kapitalisme baru, korporasi multinasional tidak terikat pada satu negara tetapi merepresentasikan sebentuk kekuasaan dan pengaruh yang jauh lebih besar ketimbang satu negara manapun. Internasionalisasi ini juga berlaku dalam pembagian kerja yang memungkinkan eksploitasi yang terus berlanjut terhadap para pekerja di negara-negara miskin guna mendukung modal multinasional. Dalam hal ini Jameson lalu menunjuk pada “aliran produksi ke wilayah-wilayah dunia ketiga yang sudah maju, bersamaan dengan akibat-akibat sosial yang sudah lazim meliputi krisis buruh tradisional, munculnya profesional muda yang ambisius (yuppies) dan kelas elit (gentrification) pada skala global” (Jameson, 1999: xix).

Ketiga, dinamika baru yang tak seimbang dalam perbankan internasional dan pertukaran saham, termasuk utang dunia kedua dan ketiga yang sangat besar (Jameson, Ibid.). Melalui struktur perbankan yang seperti itu perusahaan multinasional Dunia Pertama mempertahankan kontrol mereka terhadap pasar dunia.

Keempat, munculnya formasi-formasi baru interrelasi media. Bagi Jameson, media termasuk salah satu produk baru kapitalisme lanjut yang sangat berpengaruh, seperti: print, internet, televisi, dan film, dan merupakan sarana-sarana baru bagi kaum kapitalis mengambil alih kehidupan kita. Melalui proses mediasi kebudayaan, kita semakin tergantung pada realitas yang dihadirkan media, yakni versi realitas yang dipenuhi secara dominan dengan nilai-nilai kapitalis.

Kelima, komputer dan otomatisasi (Jameson, Ibid.) Kemajuan-kemajuan dalam otomatisasi komputer memungkinkan produksi massal sampai pada taraf yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang menghasilkan profit-margins lebih besar bagi korporasi multinasional.

Keenam, keusangan (planned obsolescence) (Jameson, 1999: 5). Jameson menyatakan bahwa dibalik produksi secara besar-besaran barang-barang yang selalu baru, baru dan baru lagi, dan terus menerus diperbarui agar tampak tak ketinggalan, dari baju sampai pesawat terbang, telah menandai fungsi dan posisi struktural yang semakin esensial bagi inovasi dan eksperimentasi estetik.

Dan terakhir adalah dominasi militer Amerika. Di balik dominan budaya posmodernisme, Jameson mengungkap sebuah kenyataan secara lugas bahwa “This whole global, yet American, postmodern culture is the internal and superstructural expression of a whole new wave of American military and economic domination throughout the world: in this sense, as throughout class history, the underside of culture is blood, torture, eath, and terror” (Jameson, 1999: 4).

Elemen-Elemen Budaya Posmodernisme

Berangkat dari kerangka referensi ekonomi-politik yang ajukan Mandel di atas beserta kesimpulan mengenai logika kapitalisme multinasional di belakang dominan budaya posmodernisme, Jameson lalu berupaya memahami elemen-elemen budaya posmodernisme sambil melukiskan karakter dasar masyarakatnya (masyarakat posmodern).

Pertama, posmodern ditandai dengan “kedangkalan” yang disebabkan oleh realitas pencitraan. Produk kultural posmodernisme dipenuhi dengan citra-citra (image) yang dangkal dan tidak memuat kedalaman makna di dalamnya. Contoh yang baik mengenai “pendangkalan” ini adalah maraknya berbagai produk iklan komersial di media massa. Setiap waktu dan setiap detik masyarakat disuguhi berbagai tontonan (spectacle) atau adegan peristiwa yang dibungkus dengan pencitraan tertentu yang direpresentasi melalui media massa. Dalam konteks ini, “masyarakat tontonan” secara terus menerus dibombardir oleh pesona “simulakrum” yakni suatu kopian dari salinan realitas yang tidak memiliki referensi pada realitas sesungguhnya. Budaya posmodernisme dilingkupi oleh produksi citra-citra atau gambaran-gambaran dunia yang tidak memiliki rujukan pada kenyataan. Karena itu ia menebarkan “kedangkalan makna” dan sekaligus melarutkan pikiran manusia dalam “kedangkalan” untuk terus menerus bertindak konsumtif tanpa mampu memaknai kehidupan itu sendiri.

Kedua, posmodernisme ditandai oleh kepura-puraan atau kelesuan emosi, atau oleh apa yang disebut Jameson sebagai ”the wanning of affect”. Menurut Jameson, selain telah terjadi perubahan dalam dunia objek (munculnya simulakrum), perubahan mendasar juga terjadi dalam dunia subjek. Perubahan subjek individual yang dimaksud di sini adalah hilangnya bentuk estetika yang merepresentasikan ekspresi individual dan personal yang otonom. Eksistensi subjek individu otonom yang memiliki ekspresi atau style yang unik dan personal serta keotentikan perasaan individual kini sudah lenyap. Subjek individu telah terfragmentasi, terbelah-belah hingga ke dalam relung dasar emosi (Jameson, 1991: 10-11).

Contoh yang menarik dalam konteks sekarang ini adalah kasus komodifikasi sosok artis melalui pembentukan citra diri di media massa, khususnya televisi. Menurut Jameson konstruksi citra diri artis semacam itu (Jameson memberikan contoh artis Marilyn Monroe) sesungguhnya adalah tontonan belaka (spectacle) dan sama sekali tidak merepresentasikan individualitas otentik artis tersebut. Jadi ada sejenis eforia aneh berkaitan dengan perasaan posmodern atau yang disebut Jameson dengan istilah “intensitas-intensitas”. Ada intensitas yang terjadi ketika tubuh berhubungan dengan media elektronik. Muncul kepura-puraan, suatu bentuk kesemuan. Jameson juga memberi contoh sebuah foto pemandangan kota “dimana kecelakaan mobil bahkan diberi pancaran cahaya yang mengkhayalkan kegemerlapan kehidupan kota”. Eforia berdasarkan kecelakaan mobil di tengah-tengah kemelaratan urban semacam itu benar-benar sejenis gejala luapan emosi yang aneh.

Ketiga, posmodernisme ditandai oleh hilangnya kesejarahan. Kita tidak bisa mengetahui sejarah atau masa lalu, meski semua yang kita jalankan pada masa kini adalah hasil naskah tentang masa lalu. Menurut Jameson, hilangnya rasa sejarah ini menyebabkan “kanibalisasi atau peniruan acak terhadap gaya masa lalu”. Pemahaman ini membawa kita pada konsep kunci dalam posmodernisme, yakni pastiche(Jameson, 1991: 67-97).

Pastiche adalah praktek peniruan atau imitasi mentah-mentahan atas sesuatu yang asli tanpa maksud-maksud tersembunyi apapun, tanpa motif kritik maupun parodi (Sean Homer: 104). Contoh yang baik dalam kasus ini adalah produksi dan distribusi film-film nostalgia bikinan Hollywood. Film-film ini sebenarnya diproduksi atas dasar konsep pastiche yang hanya mengcopy dan meniru saja peristiwa-peristiwa sejarah masa lalu. Apa yang ditekankan film-film ini adalah sekadar bentuk dan kualitas citra/gambar (image) dengan isi yang dibentuk seolah nyata. Padahal jenis konsumsi budaya semacam ini tidak mereferensikan kompleksitas konstekstualnya, dalam artian film semacam itu sama sekali tidak menunjuk pada realitas konteks yang sesungguhnya melainkan hanya mengeksploitasi pencitraan dan stylization yang hampa makna, yang ditujukan untuk komodifikasi dan konsumsi. Menurut Jameson fenomena stylization atau pastiche ini merupakan gejala runtuhnya historisitas, suatu keterputusan dengan sejarah, dan sekaligus gejala ketidakmampuan kita merepresentasikan pengalaman kekinian kita sendiri (Jameson, 1991: 21).

Keempat, posmodernisme ditandai oleh pasar media global yang berperan besar menggabungkan dunia hiburan dengan periklanan dan telah menarik masyarakat ke dalam ideologi konsumerisme. Bagaimana ini terjadi? Dalam pasar media global telah terjadi simbiosis antara pasar (market) dan media, sedemikian rupa sehingga batas-batas antar keduanya meluntur. Konsekuensinya muncul suatu tendensi bahwa komoditas diidentikkan dengan citranya dalam media, “yang real” tidak dibedakan dari “yang tidak real”. Dan dalam arti tertentu pula tidak ada pemisahan antara sesuatu benda dengan konsep benda itu, antara ekonomi dan kebudayaan, bahkan antara basis dan suprastruktur.

Dalam konteks inilah Jameson lalu menyatakan bahwa kini produk komersial telah tersebar dan menempati seluruh ruang segmen hiburan, bahkan menjadi bagian dari hiburan itu sendiri. Bahkan bagi Jameson, dengan adanya kemajuan dalam bidang teknologi reproduksi, seperti komputer dan internet, kini muncul tipe konsumsi yang lain, yakni: mengkonsumsi proses konsumsi itu sendiri, yang melampaui isi dan produk komersialnya. Segalanya menjadi komoditas termasuk apa-apa yang diproduksi media, seperti produksi gaya hidup, fashion, bintang dan selibritis, dll (Jameson, 1994: 292-293). Bukan hanya itu, Dengan demikian benarlah bahwa gejala hilangnya batas-batas modern antara seni budaya tinggi yang dimonopoli kaum aristokratik dan seni budaya “rendah” milik masyarakat berkat teknologi media, pada saat yang sama sesungguhnya menandai suatu estetisasi komoditas berdasarkan selera komersial. Atau dengan kata lain telah berlangsung “the becoming cultural of economic, and the becoming economic of the culture” di dalam era posmodernisme (Jameson, 1998: 60). Selain itu dalam pandangan Jameson, elemen budaya pasar juga telah menghapuskan perbedaan kelas sosial dengan cara mensimulasi dan mengemas perbedaan-perbedaan kelompok etnis kultural itu menjadi sekadar identitas-identitas gaya hidup yang bisa dijual (Jameson, 1991: 318-330; 340-356). Perubahan radikal juga terjadi dalam finansial. Jenis uang sebagaimana yang lazim kita kenal kini telah mengalami dematerialisasi ke dalam trilyunan kode-kode digital, mengalami deteritorialisasi, dan bisa ditransfer kemanapun di seluruh dunia dengan kecepatan yang belum pernah diperhitungkan, yang sekaligus mengundang spekulasi dalam ruang cyber global.

Kelima, posmodernisme ditandai dengan temporalitas dan spasialitas yang paradoks. Jameson menggunakan konsep schizophrenia untuk menandai temporalitas posmodernisme. Jameson mengambil istilah ini dari Lacan. Lacan melihat schizophrenia terutama sebagai language disorder, yakni kegagalan ikut serta di dalam tatanan simbolik, dunia percakapan dan bahasa. Menurut Lacan pengalaman temporalitas (usia manusia, masa lalu, masa kini, ingatan, dan bertahannya identitas personal) adalah pengaruh bahasa. Kita bisa memiliki pengalaman waktu konkrit atau hidup, karena bahasa memiliki masa lalu dan masa depan. Namun, karena orang mengalami schizophrenia sehingga tidak tahu artikulasi bahasa dengan cara seperti itu, maka ia tidak mengalami pengalaman kontinuitas temporal seperti yang kita alami. Dalam pandangan Jameson, pengalaman schizoprenia inilah yang dialami oleh masyarakat konsumeris. Mereka selalu mencari sesuatu yang baru dan berusaha mengkonsumsi hal yang terbaru terus menerus guna memenuhi selera itu. Manusia posmodern terbelenggu dalam “kekinian abadi”, dan dalam kondisi itu membuatnya ingin selalu memenuhi hasrat kekinian atau kebaruan secara lebih intens dan semakin besar.

Paradoks yang membangun temporalitas posmodern adalah perubahan yang sedemikian cepat dalam fashion, gaya hidup (style), bahkan dalam keyakinan-keyakinan. Tetapi pada saat yang sama perubahan cepat ini juga disertai dengan standardisasi dunia kehidupan, karena kita bisa membeli komoditas yang sama di seluruh pelosok dunia (Sean Homer, 1998: 105; Madan Sarup, 2003: 257).

Sementara itu paradoks dalam spasialitas posmodern ditandai dengan munculnya fenomena yang disebut dengan neologi “glokalisasi” (glocalization). Artinya yang global itu sendiri sekarang ditemukan dalam yang lokal. Perusahaan-perusahaan transnasional menyebar dan melewati batas-batas teritorial negara, mereka mengemas dan memasarkan komoditasnya melalui identitas-identitas nasional spesifik dalam sebuah negara. Dengan demikian globalisasi menyamarkan dirinya sebagai regionalisme. Identitas etnis dan gaya hidup dikemas dan dijual ke pasar dunia. Lalu ideologi standardisasi pasal global ini menjualnya pada kita sebagai perayaan atas perbedaan, stimulasi libidinal, dan suatu hyperindividualitas yang mendorong individu-individu itu ke dalam hyperkonsumsi (Sean Homer, 1998: 147-148).

Berdasarkan paparan ini bersamaan dengan perubahan-perubahan penting dalam hegemoni ekspansi modal multinasional dan penetrasi, kolonisasi, serta komodifikasi semua bidang kehidupan, Jameson membuat kesimpulan yang sangat menarik: manusia posmodern tinggal dalam ruang yang disebut “global hyperspace”. Ruang yang tampak penuh dengan jebakan dan perangkap yang menggoda, menggiurkan dan sekaligus juga mengkhawatirkan.

Istilah ini terkait dengan dengan konsep Jean Baudrillard tentang “hyperreality”: yakni situasi dimana kedalaman (the depth) dan materialitas dunia real sedang jatuh dalam “kedangkalan” selera, rayuan komoditas dan godaan simbol-simbol pencitraan yang mematikan pikiran cerdas dan subjektifitas manusia. Manusia dan masyarakat posmodern larut dalam “kekinian abadi” dan tenggelam dalam “kedangkalan” budaya konsumer, serta tidak mampu menghubungkan kedalaman masa lalu dengan lingkungan masa kini. Dalam ruang hyperspace semacam ini, individu-individu tidak mampu membayangkan suatu masa depan yang berbeda dan tidak mampu memusatkan diri pada cita-cita dan sejarahnya, kecuali hanya jatuh dalam eforia berlebihan terhadap tontonan (spectacle) yang semu, gaya hidup yang superfisial dan citra konsumerisme yang berujung pada kehampaan diri (Jameson, 1999: 317).

Selain itu global hyperspace juga berdampak pada individu sebagai subjek politik. Menurut Jameson, individualisme dan identitas personal nyaris sekadar warisan masa lalu, bahkan sudah mati karena individu-individu itu kini telah masuk ke dalam realitas multidimensional jaringan global kapitalisme multinasional. Ruang hyperspace melahirkan problem politik. Individu sebagai subjek telah kehilangan peta, tidak mampu memahami posisi, ruang dan situasi historisnya di dalam hegemoni sistem kapitalisme global. Sebuah problem yang pada bagian berikutnya hendak diatasi oleh Jameson melalui konsep sentralnya tentang cognitive mapping (pemetaan kognitif).

“Cognitive Mapping” dan Strategi Perlawanan Politik

Dari paparan di atas diperlihatkan dengan jelas bagaimana ruang budaya global posmodernisme menyediakan jebakan dan telah mengkooptasi subyek individual. Berbagai aktifitas resistensi budaya lokal dan intervensi politis pernah dilakukan oleh beberapa kelompok politik, namun diam-diam aktifitas itu layu, terlucuti dan bahkan terserap sendiri ke dalam pusaran arus sistem global itu karena ketidakmampuannya mengambil jarak dari kekuatan supra-sistem. Problem utamanya adalah subjek individu tidak memiliki kemampuan untuk memetakan jaringan komunikasi yang begitu terdesentralisasi dan bersifat multinasional dalam kekuasaan hegemonial kapitalisme global.

Oleh karenanya dalam konteks ini, Jameson menawarkan dua bentuk strategi resistensi budaya untuk melawan logika posmodernisme.

Pertama, strategi homeophatik. Yakni suatu praktek budaya hegemoni-tandingan (counter-hegemonic cultural practices) yang dilakukan dengan cara menyerang citra spektakuler masyarakat kapitalisme lanjut dari dalam dengan menggunakan berbagai sumberdaya imagistik. Atau dalam bahasa Jameson sendiri “merusak citra dengan citra itu sendiri, dan dengan merencanakan logika simulakra dengan dosis simulakra yang lebih besar lagi”. Termasuk dalam upaya ini adalah membuat gangguan budaya, membuat praktek-praktek bermakna perlawanan, dan juga menolak nilai-nilai yang dikomodifikasikan.

Kedua, strategi cognitive mapping. Strategi ini digunakan untuk memecahkan problem posmodernisme, seperti: simulasi media dan hyperealitas komersial, yang sudah melumpuhkan agen politik dan kehendak perubahan sosial. Caranya adalah mendorong individu dan masyarakat untuk menciptakan budaya politik baru dengan menyadari the truth of postmodernism sebagai ruang dunia kapitalisme multinasional. Tugas setiap individu adalah membuat terobosan untuk menciptakan cara baru merepresentasikan diri dalam berhubungan dengan ruang dunia kapitalisme global sebagai suatu keseluruhan (yang berbeda dengan representasi kapitalis), dan lalu mulai memahami positioning mereka sebagai individu dan subjek kolektif dalam ruang dan waktu historis, yang pada akhirnya melangkah untuk berjuang melawan dominasi logika kapitalisme (Jameson, 1999: 54).

Bagi Jameson, karena posmodernisme adalah logika budaya kapitalisme multinasional yang mengglobal dan total, maka strategi cognitive mapping pada dasarnya adalah strategi pemetaan dan perlawanan yang berangkat dari subjek-subjek individu yang berorientasi total dan global pula. Ini artinya Jameson hendak menekankan pentingnya formasi kesadaran kelas berskala global dan gerakan-gerakan terorganisasi lain berskala global untuk melawan totalisasi kapitalisme multinasional.

Catatan Akhir: Relevansi Pemikiran

Mencari relevansi pemikiran Fredric Jameson dalam konteks masyarakat kita sekarang bukanlah perkara sulit. Lihatlah mereka para eksekutif muda yang bermalas-malasan saat kerja, atau kaum muda mudi yang tidak bersemangat saat harus membaca buku di bangku kuliah. Mereka lebih banyak waktu untuk menghabiskan waktu di diskotik dan pusat hiburan atau berbelanja di mall-mall dan pusat perbelanjaan atau pergi ke salon-salon kecantikan, tempat fitness, dan lain-lainnya. Pemikiran Jameson sangat relevan untuk melihat bagaimana mutasi budaya kapitalisme telah menciptakan apa yang disebut dengan “masyarakat komoditas” atau “masyarakat konsumeris”.

Masyarakat komoditas, kata Adorno, adalah masyarakat yang didalamnya berlangsung produksi barang-barang, bukan terutama untuk memenuhi kebutuhan, melainkan demi profit dan keuntungan. Oleh karena itulah akan lahir konsentrasi kapital yang luar biasa yang memungkinkan terselubungnya operasi pasar bebas demi keuntungan produksi massa yang dimonopoli dari barang-barang yang distandarisasi. Dalam masyarakat komoditas telah terjadi komodifikasi seluruh ruang kehidupan dan ranah kebudayaan (produk, tontonan, informasi, olahraga, pendidikan, moralitas, religiusitas, cinta dan harga diri), dan menjadi tonggak munculnya drama masyarakat yang lebih pelik dan angkuh, yakni “masyarakat konsumer pasca modern” (Idi Subandy Ibrahim, 1997: xiii-xlvii).

Masyarakat konsumer adalah masyarakat yang dikuasai oleh hasrat konsumsi yang yang digelar lewat program gaya hidup dan citra diri dan dikemas dalam paket-paket komersial, melalui media televisi, film, MTV, iklan, majalah populer, dan seterusnya. Masyarakat konsumer dikendalikan oleh hasrat pemujaan gaya hidup dan penampilan diri. Oleh karena itulah orang tidak perduli apakah hidup hanya sekali, yang penting bagaimana bisa tampil modis dan trendy. Dalam ruang seperti ini tidak ada kreatifitas kultural selain menghamba pada citraan-citraan yang disajikan lewat TV, seperti Indonesian Idol, AFI, program kecantikan, dan gaya hidup selebritis, sesuatu yang disebut Bre Redana sebagai “budi daya kebodohan”.

Masyarakat konsumer posmodern adalah masyarakat yang kehilangan, meminjam istilah Jameson, peta kognitifnya. Mulai dari pejabat pemerintah, politisi, hingga aktivis mahasiswa. Mereka larut dalam godaan budaya pop dan tenggelam dalam hingar-bingar kemewahan dan perayaan gaya hidup yang artifisial yang diciptakan menurut logika kapitalisme lanjut yang berdiri kokoh di atas perkembangan teknologi komunikasi dan informasi.

Menarik apa yang disinyalir mantan Ketua MPR Amien Rais dalam seminar mahasiswa akhir 2005 lalu bahwa gerakan mahasiswa pasca kejatuhan Soeharto telah berubah. Gerakan mahasiswa yang dulu bersemangat, kini seperti “mati suri”. Aksi demonstrasi yang dilakukan untuk kepentingan rakyat tak banyak digelar, dan mahasiswa lebih banyak dibelenggu kemewahan hidup akibat kapitalisme (Kompas, 19-12-2005). Rupanya gejala ini juga paralel dengan kesimpulan Ariel Heryanto yang menyatakan secara parodis bahwa “yang kini melumpuhkan aktivisme bukan semprotan gas air mata Brimob, tapi semprotan parfum Paris”. Inilah manifestasi nyata jebakan-jebakan posmodernisme sebagai logika budaya kapitalisme lanjut. []

 

Perihal                 Hegemoni dan Perang Posisi

1. Pengantar

Antonio Gramsci (1891-1937) adalah salah satu teoritisi Marxis terpenting asal Italia pada abad ke-20 ini, dan disebut oleh Kolakowski sebagai teoritikus politik paling orisinil sesudah Lenin yang mencoba mengkritisi kelemahan-kelemahan Marxisme dan melakukan analisis terhadap penyebab kegagalan revolusi proletariat.

Salah satu gagasan sentral Gramsci yang akan diuraikan dalam tulisan ini adalah soal hegemoni dan perang posisi. Tema ini dipilih karena melalui konsep inilah Gramsci telah membalikkan padangan tradisional Marxisme bahwa revolusi proletar akan datang secara niscaya, sebagaimana siang menggantikan malam. Sebaliknya revolusi sosialis baru bisa diperoleh melalui tekad dan upaya panjang sedemikian rupa sehingga kelas-kelas bawah meraih kepemimpinan kultural, intelektual dan ideologis dalam kehidupan masyarakat.

Dalam tulisan ini, saya akan membagi dalam beberapa pokok bahasan. Pertama-tama akan dibicarakan konteks pemikiran Gramsci, lalu dalam bagian berikutnya akan dibahas pengertian hegemoni dan “perang posisi” serta peran intelektual “organik” dalam proses revolusi sosial. Di akhir tulisan ini akan diberikan kesimpulan dan beberapa relevansi pemikiran Gramsci dalam konteks kekinian.

 

2. Konteks Pemikiran Gramsci

Gramsci menuliskan pemikirannya dengan bertitik tolak pada kritiknya terhadap pandangan marxisme ortodoks, terutama kerangka teoritis Nikolai Bukharin dalam sebuah buku The Theory of Historical Materialisme yang dimaksudkannya sebagai sebuah karya textbook tentang Marxisme-Leninisme untuk para kader partai komunis lebih tinggi. Buku ini berisi ajaran-ajaran Marxisme-Leninisme sebagai pandangan dunia proletariat, sekaligus upaya Bukharin menyatukan sosiologi kontemporer dalam karyanya itu dengan tujuan hendak menunjukkan bahwa materialisme historis adalah sosiologi tentang proletariat dengan kadar kepastian ilmiah.

Gramsci menolak pandangan tersebut dan menganggap materialisme sejarah Soviet ortodoks itu telah mereduksi metode dialektik kritis terhadap masyarakat menjadi seperangkat prinsip-prinsip partai yang bersifat dogmatis dengan mengorbankan pembebasan diri proletariat. Lagi pula, Gramsci berkeberatan dengam maksud buku itu yang diperuntukkan bagi komunitas pembaca elit yang disebutnya “bukan intelektual profesional”, sehingga menciptakan kekeliruan besar karena telah mengabaikan “filsafat massa rakyat” atau filsafat yang lahir dari akal sehat rakyat sendiri. Dengan kata lain, pandangan Bukharin ini adalah sebuah sistem filsafat (materialisme historis) yang asing dan tidak dikenal oleh massa rakyat dan hendak dipaksakan begitu saja dari luar kesadaran diri proletar. Bagi Gramsci kesadaran politik proletariat harus dibangun melalui kepercayaan-kepercayaan dan akal sehat mereka sebagaimana terungkap dalam cerita-cerita dan agama rakyat, dan bukan semata-mata di-impose dari luar (elit). Karena yang belakangan ini merupakan cerminan dari kekuatan kultural kohesif atau hegemoni yang dijalankan oleh kelas-kelas yang berkuasa (Richard Kilminster, 1979: 110-111; Frans Magnis Suseno, 2003: 175-176).

Penolakan Gramsci pada tradisi Marxian ortodoks dan penekanan sebaliknya pada faktor-faktor budaya dan ideologi disebabkan oleh karena situasi Italia sendiri, negara kelahirannya, sebagaimana negara-negara kapitalis lain dimana sistem borjuis memiliki sumber stabilitas yang kuat. Di negara-negara ini, revolusi sosialis yang ditunggu-tunggu kedatangannya setelah terjadi krisis ekonomi kapitalis ternyata tidak kunjung tiba. Sebaliknya kegagalan melancarkan revolusi sosialis di negara-negara di luar Rusia, munculnya fasisme di Italia dan pecahnya perang dunia pertama yang menandai lemahnya internasionalisme proletar, serta pemberontakan di Jerman dan Hongaria seakan membuktikan bahwa revolusi di Barat telah gagal. Rangkaian kekalahan dan kegagalan ini, menurut Yoseph V. Femia, telah menyebabkan keraguan dalam diri Gramsci terhadap kredibilitas teoritis aksi revolusi (Heru Hendarto, 1993: 71-72). Sehingga berdasarkan kenyataan dan kesulitan seperti itu Gramsci lalu berusaha menganalisis persoalan tentang bagaimana mencari strategi yang pas untuk menyukseskan revolusi sosialis di Italia dan Eropa Barat pada umumnya.

3. Tentang Hegemoni

Sebagaimana disinggung di atas hegemoni merupakan gagasan sentral dalam pemikiran Gramsci mengenai strategi perubahan sosial. Konsep ini pertama-tama muncul dalam rangka mengoreksi kegagalan revolusi sosialisme di negara-negara Barat, termasuk Italia, sekaligus mengevaluasi gagasan dasar Marxisme ortodoks paska Marx dan Engel yang menyatakan bahwa akibat kontradiksi-kontradiksi internalnya kapitalisme niscaya akan hancur dengan sendirinya digantikan dengan masyarakat sosialis melalui revolusi proletariat.

Bagi Gramsci sendiri revolusi adalah proses organik yang memerlukan pengorganisasian aktifitas sadar dan kesadaran kritis teoritis. Sehingga persiapan intelektual, budaya dan politik kelas pekerja adalah syarat yang diperlukan untuk suksesnya sebuah revolusi proletariat. Dalam konteks inilah hegemoni menemukan lokus urgensinya.

Hegemoni adalah konsep penting dalam tulisan-tulisan Gramsci, meski ia dipakai dalam berbagai pengertian. Konsep ini muncul berbarengan dengan upaya Gramsci untuk memajukan revolusi sosialis dalam rangka menghancurkan tatanan dan sistem kapitalisme. Pertama-tama yang harus dikatakan adalah bahwa Gramsci menggunakan istilah ini sebagai konsep yang netral, tidak bersifat baik atau buruk. Artinya, dia menggunakan konsep hegemoni dalam kerangka realitas perjuangan kelas dalam suatu tatanan masyarakat.

Kadang-kadang Gramsci mengidentifikasi hegemoni dengan kekuatan politik yang dijalankan dengan paksaan, tetapi pada umumnya ia menunjuk kepada kontrol terhadap kehidupan intelektual masyarakat melalui sarana-sarana kebudayaan (Leszek Kolakowski, 1978: 242). James Joll secara gamblang menjelaskan bahwa hegemoni suatu kelas politis berarti bahwa kelas tersebut berhasil membujuk kelas-kelas sosial lain untuk menerima nilai-nilai budaya, politik, dan moral dari kelas itu (James Joll, 1977: 99). Oleh karena itu hegemoni lebih terkait dengan upaya mencapai kekuasaan politik melalui konsensus antar kelas daripada melalui kekerasan. Bahkan dalam suatu hegemoni yang berhasil, kekuatan koersif sudah tidak dibutuhkan lagi oleh kelas berkuasa.

Dengan konsep hegemoni ini Gramsci menyadari pentingnya peran kebudayaan dalam revolusi sosialis, suatu faktor yang kurang memperoleh perhatian sebelumnya dalam analisis Marxisme ortodoks yang terlalu dibutakan oleh kerangka “basis-suprastruktur”. Kerangka ini sebagaimana disebut oleh Magnis Suseno menyimpan kekonyolan pengertian ekonomistik, dimana perubahan dalam basis struktur ekonomi menentukan perubahan dalam level suprastruktur politik, ideologi dan kebudayaan. Revolusi sosialis dianggap tergantung seratus persen dari perkembangan perekonomian kapitalistik. Adapun Gramsci dalam konteks ini sebenarnya mengikuti apa yang telah dilontarkan Lenin bahwa tanpa tekad revolusioner segala perkembangan ekonomis dengan sendirinya tidak pernah akan menghasilkan revolusi apapun. Karenanya Lenin memandang perlu hadirnya sebuah partai revolusioner pada khazanah pemikiran Marxis (Franz Magnis Suseno, 2003: 184). Dan melalui kepemimpinan partai ini Lenin telah membuktikan bahwa revolusi sosialis bisa dijalankan di Rusia.

Namun demikian bagi Gramsci peran partai saja tidaklah cukup untuk menggerakkan revolusi di negaranya, Italia, dan umumnya di Barat. Karena di Barat masyarakat sipil begitu kuat dan kompleks yang tidak hanya dikuasai oleh borjuasi tetapi juga mereka menyokong dan menjamin kedudukannya.

Di negara-negara Barat kekuatan kaum borjuasi sudah mencakup seluruh bidang kehidupan masyarakat: ekonomi, sosial, politik, budaya, agama, dan lain-lain. Kesatuan kekuatan borjuasi dalam masyarakat ini membentuk suatu “blok historis”, yakni suatu konstalasi di mana semua dimensi kehidupan kelas-kelas sosial dalam masyarakat ini menyatu dan saling mendukung di bawah hegemoni sebuah kelas, yaitu kelas borjuasi. Tampaknya inilah alasan mengapa revolusi sosialis pada kenyataannya tidak jua terjadi. Kelas borjuasi berhasil menguasai kelas-kelas di bawahnya melalui hegemoni sehingga krisis ekonomi tidak secara langsung melahirkan revolusi, karena persis krisis ekonomi tidak sekaligus membawa krisis nilai dalam masyarakat. Kelas borjuasi sebagai pemegang hegemoni blok historis tidak hanya berkuasa dalam bidang ekonomi dengan dukungan daya ancam negara, melainkan karena seluruh masyarakat menganggap situasi kekuasaan itu wajar saja, hegemoni borjuis itu masuk akal dan bisa dimengerti. Selain tentu saja karena hadirnya kelompok intelektual yang mendukung kedudukan hegemonial kelas itu melalui refleksi intelektual-filosofis (Franz Magnis-Suseno, 2003: 188).

 

4. Hegemoni dan Perang Posisi

Dari paparan di atas makin jelas bahwa sebuah revolusi sosialis tidak dapat dilakukan secara gampang tatkala semua kecenderungan, hasrat, perasaan dan kepentingan masyarakat berada dalam hegemoni kelas borjuis. Dalam konteks ini Gramsci menolak pandangan Rosa Luxemburg bahwa krisis ekonomi dalam sistem kapitalisme akan mendorong reaksi spontan masyarakat untuk menghancurkan sistem kapitalisme melalui partai dan sindikat-sindikat para pekerja. Sebaliknya ia menegaskan bahwa revolusi adalah proses organik dan molekular yang membutuhkan pengorganisasian aktifitas sadar dan kesadaran kritis. Ini artinya suksesnya revolusi proletariat juga sangat ditentukan oleh prasyarat persiapan intelektual, budaya dan politik kelas masyarakat bawah sendiri.

Dengan kata lain, perubahan sosial politik baru bisa dimungkinkan jika masyarakat bawah terlebih dahulu berhasil merebut hegemoni kultural dengan menyingkirkan hegemoni kaum borjuasi yang menindas. Ini artinya sebelum mengambil alih kekuasaan politik, kelas buruh dan masyarakat bawah lainnya harus bisa mengambil alih pandangan dunia, nilai-nilai, dan harapan-harapan seluruh masyarakat atau paling tidak kelas-kelas penting, karena dalam rangka menciptakan sistem masyarakat yang baru itu diperlukan sebuah kebudayaan yang baru pula. Upaya pengambilalihan atau perebutan hegemoni inilah yang disebut Gramsci sebagai “perang posisi” (war of position).

Strategi tersebut digunakan Gramsci dalam rangka untuk mematahkan hegemoni borjuasi dalam masyarakat sipil melalui kepemimpinan intelektual, kultural dan ideologis dalam lembaga-lembaga privat, sekolah-sekolah, gereja, industri, asosiasi kota dan pedesaan, dan lain-lain. Gramsci membedakan antara “perang posisi” (war of position) dan “perang gerak” (war of movement) dalam kerangka strategi yang berbeda dalam perebutan kekuasaan. Yang pertama merujuk pada perebutan kekuasaan yang dilakukan melalui konfrontasi langsung, sementara yang kedua melalui proses gradual dan molekular yang menyiapkan kondisi bagi kekuatan sosialis progresif untuk merebut kekuasaan. “Perang gerak” hanya bisa dilakukan bila masyarakat sipil sangat lemah, sementara diperlukan “perang posisi” bila masyarakat sipil dalam negara itu sangat kuat.

Dengan belajar dari Rusia, Gramsci percaya bahwa keberhasilan Lenin merealisasikan revolusi proletariat di Timur, tidak dengan mudah bisa diikuti oleh negara-negara Barat. Perbedaan-perbedaan struktural antara Rusia dan Barat secara otomatis juga mengharuskan kaum proletar untuk membangun strategi politik berbeda. “Perang gerak” sebagaimana yang diterapkan Lenin di Rusia dianggap lebih cocok karena kondisi masyarakat sipil di sana sangat lemah di bawah kepemimpinan Tsar. “Perang gerak” ini sangat berhasil di Rusia karena kekuatan masyarakat sipil yang merupakan gabungan dari elit feudal, borjuis dan intelektual yang berkuasa di satu pihak dan massa petani yang berada dipinggiran kehidupan politik di pihak lain, sangat lemah; sementara kekuasaan negara tersentralisasi dan terkonsentrasi pada diri seorang kaisar Tsar. Dan dalam kondisi tersebut “perang gerak” lebih strategis dan efektif untuk merebut kekuasaan secara langsung.

Adapun di Italia kekuatan negara borjuasi tertanam dalam masyarakat sipil yang kuat dan kompleks. Negara memperoleh kekuatan dan sokongan dari jaringan organisasi-organisasi privat, sekolah, gereja, asosiasi pedesaan dan masyarakat urban, dan para industrialis utara. Tambahan lagi kapitalisme barat dan Italia sukses menciptakan blok politik, menyerap elemen-elemen budaya kelas pekerja dan menyatukan massa rakyat ke dalam struktur hegemonik. Realitas politik inilah yang menyebabkan “perang gerak” tidak berhasil dan tidak bisa diharapkan lagi (Leonardo Salamini, 1981: 126-134). Sehingga dalam struktur politik di mana masyarakat sipil sangat kuat dalam hegemoni kaum borjuasi maka strategi yang lebih masuk akal adalah “perang posisi” dengan menggerogoti kekuatan kultural dan ideologi borjuasi.

Gramsci yakin bahwa hegemoni borjuasi ini bisa dipatahkan melalui strategi “perang posisi”. Ini dikarenakan sebenarnya konsensus antara kelas-kelas sosial yang memapankan masyarakat borjuis adalah semu dan superfisial belaka, sehingga tatanan sosial yang dibangun pun hanya kelihatannya saja universal. Apa yang nampak sebagai kepentingan bersama seluruh masyarakat hanyalah kedok kepentingan kelas borjuasi. Karena dalam kenyataannya eksploitasi kelas-kelas buruh masih terus berjalan (Franz Magnis-Suseno, 2003: 193-194).

Selanjutnya dalam rangka mematahkan hegemoni borjuasi dan merumuskan pandangan dunia baru kelas proletar ini, Gramsci memiliki instrumen favorit yang sangat penting, yakni “intelektual organik”. Kelompok ini berperan signifikan untuk mengobarkan “perang posisi” guna mengambil alih hegemoni.

 

5. Intelektual “Organik”

Siapakah profil “intelektual organik” ini? Gramsci memakai istilah “intelektual” dalam arti luas yang secara praktis ekuivalen dengan “inteligensia” atau semua kelas terdidik. Dan pada umumnya setiap kelas utama memproduksi lapisan intelektualnya sendiri yang bertugas mempertahankan kontinuitas budaya kelas masyarakatnya dan menyatukan mereka berdasarkan solidaritas tertentu.

Bagi Gramsci, intelektual organik adalah para intelektual yang tidak sekedar menjelaskan kehidupan sosial dari luar berdasarkan kaidah-kaidah saintifik, tapi juga memakai bahasa kebudayaan untuk mengekspresikan perasaan dan pengalaman real yang tidak bisa diekspresikan oleh masyarakat sendiri (Leszek Kolakowski, 1978: 240). Intelektual organik adalah mereka yang mampu merasakan emosi, semangat dan apa yang dirasakan kaum buruh, memihak kepada mereka dan mengungkapkan apa yang dialami dan kecenderungan-kecenderungan objektif masyarakat.

Di atas tadi sudah disinggung secara panjang lebar bahwa kemenangan kelas bawah mustahil diraih tanpa suatu kemenangan budaya terlebih dulu, dan kemenangan budaya ini meniscayakan peran serta intelektual organik. Dalam hal inilah bisa dipahami bahwa dalam upaya-upaya perubahan sosial sangat diperlukan penyusunan dan pengorganisasian suatu lapisan intelektual yang mengekspresikan pengalaman aktual masyarakat dengan keyakinan dan bahasa terpelajar. Artinya kaum intelektual organik ini menghadirkan suara-suara kepentingan masyarakat bawah dengan bahasa budaya tinggi sehingga pandangan dunia, nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan kelas bawah meluas ke seluruh masyarakat dan menjadi bahasa universal. Bila tahap ini berhasil, maka jalan semakin lebar bagi kelas bawah untuk melakukan perubahan revolusioner, yakni merebut kekuasaan politik.

Dalam pandangan Gramsci perubahan sosial bukanlah semata-mata upaya menyangkut masalah kekuatan ekonomi dan fisik, tapi juga melibatkan perebutan wilayah kebudayaan dan ideologi: suatu upaya masyarakat bawah untuk membebaskan diri mereka dari budaya kaum borjuis dan untuk membangun nilai budaya mereka sendiri bersama-sama dengan kaum tertindas dan lapisan intelektual yang berpihak. Dalam konteks inilah bisa dikatakan bahwa supremasi intelektual merupakan prakondisi tercapainya kekuasaan politik (Leszek Kolakowski, 1978: 242).

 

6. Kesimpulan dan Relevansi

Gramsci telah merevisi pandangan-pandangan Marxisme klasik yang cenderung “ekonomistik” untuk lalu menekankan arti penting budaya dan ideologi dalam pembentukan masyarakat sosialis. Ia menunjukkan bahwa kategori “struktur-superstruktur” tidaklah bersifat mutlak, deterministik dan monologis. Tapi sebaliknya dalam realitas masyarakat kedua bagian itu saling mempengaruhi, dan ideologi dan budaya justeru sangat menentukan keberhasilan dalam revolusi sosialis.

Gramsci mengikuti Lenin dalam arti dia menolak bahwa revolusi sosialis secara objektif akan datang begitu saja bila tiba waktunya dan kita tinggal menunggu saja kedatangannya. Sebaliknya, Gramsci melihat pentingnya kehendak dan tekad revolusioner itu ada dalam hati sanubari proletariat untuk menumbangkan kekuasaan kaum borjuasi yang telah merasuk dalam semua dimensi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan kelompok intelektual dan partai revolusioner untuk mewujudkan sosialisme. Namun berbeda dengan Lenin, tugas intelektual bukanlah mencekoki kelas buruh pengetahuan tentang teori yang benar, melainkan mengungkapkan belaka suara-suara kepentingan kelas buruh ini dalam bahasa yang bisa dipahami oleh masyarakat luas. Dalam arti ini maka penting sekali bahwa keberadaan kaum intelektual bukanlah di menara gading, elitis, melainkan harus menyatu dan berada di sisi kaum buruh. Demikian juga partai politik, tidak bertugas menyuntik ke dalam diri kelas buruh suatu kesadaran yang benar, melainkan membuat mereka sadar akan implikasi kesadaran yang sudah mereka miliki serta segi-segi perjuangan.

Hal ini semua karena terkait dengan upaya kaum buruh untuk menancapkan hegemoni kultural dan ideologis sebelum memulai perebutan kekuasaan politik. Bagi Gramsci proses perubahan sosial tidak semata-mata sebagai perebutan kekuasaan politik, melainkan suatu perebutan kekuasaan budaya dan ideologi. Demikian juga sebuah revolusi sosialis tidak dapat dilakukan dengan sekali jadi melalui perebutan kekuasaan politik, melainkan memerlukan waktu panjang dalam suatu perang posisi (war of position) untuk merubah pandangan dan nilai-nilai masyarakat sipil. Jika masyarakat sipil sudah dihegemoni maka sebenarnya secara de facto kekuasaan itu sudah berada di tangan kelas buruh, dan kepemimpinan politik bisa diambil alih secara mudah.

Tentu saja gagasan-gagasan Gramsci ini sangat relevan baik sebagai sebuah alat baca maupun sebagai perangkat membangun gerakan sosial.

Sebagaimana berlangsung sejak Orde Baru, berbagai gerakan sosial di Indonesia telah merepresentasikan kiprah para intelektual baik aktifis di berbagai LSM, organisasi keagamaan, aktifis kampus maupun organisasi profesi dalam membangun aliansi bersama untuk menumbangkan rezim Suharto. Proses penyadaran publik dan advokasi sosial terus menerus dilakukan dalam rangka menggerogoti dan mendelegitimasi rezim. Berbagai kekuatan ini telah membentuk semacam “blok historis” lain di luar kekuasaan rezim, dan berusaha meraih dukungan publik seluas-luasnya untuk menggusur hegemoni politik dan ideologis “pembangunanisme” Orde Baru. Dan dampak dari gerakan-gerakan ini mulai terlihat pada periode-periode akhir kekuasaan rezim. Gelombang demontrasi, pemogokan, dan perlawanan-perlawanan rakyat begitu menggelora hingga akhirnya pada 1998 rezim Soeharto itu tumbang.

Selain itu dalam konteks tatanan dunia sekarang ini dimana segala segi kehidupan berada di bawah hegemoni kapitalisme neoliberal dalam bentuk eksploitasi buruh sampai dengan komodifikasi dan konsumerisme, maka gagasan Gramscian tentang a counter-hegemonic transnasional blocco storico (blok historis atau kekuatan progresif transnasional) menjadi sangat penting.

Demikian juga konsep hegemoni Gramsci ini sangat bermanfaat dan menjadi pelajaran penting bagi para politisi partai dan intelektual kita. Sebuah partai akan besar dan sukses bila ia mampu mengartikulasikan kepentingan riil masyarakatnya. Dan menjadi tugas para intelektual untuk mengemban amanah perubahan dan pembebasan sosial. []

 

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar

Hello world!

November 2, 2009 at 6:28 pm (Uncategorized)

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!

Permalink 1 Komentar